JAKARTA - Ketua DPD Legiun Veteran Bali, I Gusti Bagus Saputra, (95) menceritakan upaya para pejuang mempertahankan kedaulatan NKRI di Pulau Dewata, Bali setelah kemerdekaan. Perang yang dikenal dengan nama Puputan Margarana terjadi pada 1946.
Di usianya yang masih 16 tahun, Bagus Saputra sudah berapi-api untuk membuat Indonesia diakui sebagai negara.
Kobaran semangat itu tak terlepas dari permintaan I Gusti Ngurah Rai selaku Panglima Angkatan Bersanjata Sunda Kecil untuk bersama-sama mempertahankan Indonesia.
"Waktu proklamasi kemerdekaan tahun 17 Agustus 45 pak Rai mengajak kita semua untuk mempertahankan proklamasi itu," ujarnya, Minggu (10/8/2025).
Bagus Saputra muda saat itu melihat sendiri konvoi-konvoi truk Belanda menduduki desa-desa di Bali sejak April 1946. Berbekal senjata tradisional, saat itu para pejuang pimpinan I Gusti Ngurah Rai menggempur pasukan Belanda.
"Kita gempur pada tengah, kita kuasai kota Denpasar selama empat jam. Belanda mati disebut 45 orang dan luka-luka 127 orang. Kita hanya tewas 6 orang," kata Bagus Saputra.
Belanda, kata Bagus, ternyata tidak selesai sampai di sana. Pasukan pesawat tempur kemudian kembali mengepung kota Denpasar pada pagi hari membuat pejuang dari Indonesia terpaksa mundur ke pedalaman untuk menyerang Belanda secara tiba-tiba.
Bagus menceritakan strategi pejuang itu mampu membuat pasukan Belanda kacau balau. Bahkan pasukan Belanda saat itu mengirim surat perundingan kepada I Gusti Ngurah Rai selaku Panglima Sunda Kecil.
Ia lantas menceritakan semangat patriotisme I Gusti Ngurah Rai yang menolak mentah-mentah upaya perundingan. Ngurah Rai, kata Bagus, hanya menghendaki agar Belanda angkat kaki dari Pulau Dewata.
"Bali bukan tempatnya perundingan diplomasi. Dan saya bukan kompromis,” kata Bagus Saputra sembari mengingat isi surat balasan Ngurah Rai kepada Belanda.
“Saya atas nama rakyat hanya menghendaki lenyapnya Belanda dari pulau Bali atau kami sanggup dan berjanji bertempur terus sampai cita-cita kami tercapai," sambungnya.
Menurut Bagus, jawaban nasionalisme itu membuat Belanda naik pitam. Ngurah Rai pun menjadi sasaran serangan, rumahnya dibakar, istri dan anaknya dipenjarakan hingga markas-markas besar di Bali juga dibom.
"Kita tidak lagi dapat bantuan dari Jawa, senjata kita sudah rusak, peluru sudah habis tidak ada lagi dipakai bertempur," tutur dia.
Di tengah ketidakpastian situasi itu, Bagus menceritakan Ngurah Rai sudah meminta pasukannya untuk kembali ke tempat masing-masing. Hanya saja, pasukan Belanda sudah mengusai hampir seluruh desa di Bali.
Bagus menceritakan bagaimana Ngurah Rai kembali membujuk Kepala Polisi Belanda bernama Wagimin untuk mendapati senjata. Senjata itu belakangan digunakan untuk kembali menghadapi Belanda di ujung pertempuran.
"Dengan itu kita pakai bertempur melawan belanda itu pada 20 November 1946," kata Bagus.
Bagus menceritakan pertempuran sengit itu terjadi dari siang hingga malam. Dengan kekuatan seadanya, para pejuang menahan gempuran-gempuran bom yang diterjunkan dari pesawat.
"Satu batalyon belanda dan kita cuma 96 orang," tutur dia.
Menurut Bagus, I Gusti Ngurah Rai tak pernah berkecil hati dan meminta para pejuang untuk memperjuangkan Indonesia hingga titik darah penghabisan. Peristiwa itu, turut menewaskan I Gusti Ngurah Rai.
"Oleh sebab itu, belanda merasa hormat Pak Rai waktu pak Rai dan pasukannya gugur, komandan belanda memberi hormat salut kepada pak Rai karena perjuangannya luar biasa," tutupnya.
(Fahmi Firdaus )