“Jika Amsterdam bisa menghidupkan kembali sebuah depo trem menjadi pusat budaya tanpa subsidi operasional, Indonesia pun bisa melakukan hal serupa dengan mengandalkan kekuatan komunitas dan manajemen yang transparan,” katanya.
Sesi panel ini juga menampilkan dua pemakalah terpilih dari seleksi abstrak CHANDI 2025. Ahmad Saifudin Mutaqi dari Universitas Islam Indonesia memaparkan risetnya tentang crowdsourcing dan pendanaan partisipatif, dengan studi kasus pelestarian Candi Kimpulan.
Ia menekankan bahwa keterlibatan masyarakat melalui teknologi digital tidak hanya menyediakan sumber dana alternatif, tetapi juga memperluas partisipasi dan membangun rasa kepemilikan bersama.
“Kekuatan komunitas bisa menjadi tumpuan. Dengan teknologi digital, masyarakat dapat berperan langsung dalam pelestarian warisan budaya,” ujarnya.
Dari perspektif lain, Sultan Prasasti dari Maastricht University mengulas model insentif pajak dan integrasi dengan Dana Indonesiana untuk mendukung pelestarian musik klasik Indonesia. Ia mengacu pada praktik di Singapura, Australia, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, lalu menarik pelajaran yang bisa diterapkan di Indonesia.
Menurutnya, super-deduksi pajak, program cultural gift, serta skema matching fund terbukti mampu memperluas basis donor dan mendukung keberlanjutan pendanaan. “Musik klasik adalah aset budaya, tapi tanpa dukungan dana, ia akan memudar,” tuturnya.