JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup/BPLH (KLH/BPLH) tengah memperjuangkan gagasan "perdagangan karbon" atau "nilai ekonomi karbon” di Konferensi Iklim COP30 di Brasil. Tata kelola karbon bukan hanya sekadar tentang pengurangan emisi.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, uang dari hasil jual-beli karbon tidak boleh berhenti di pemerintah pusat. Namun, harus mengalir langsung ke masyarakat yang selama ini menjadi garda terdepan penjaga hutan.
"Intinya, tata kelola karbon Indonesia bukan hanya tentang pengurangan emisi, tetapi juga tentang memastikan manfaat karbon dirasakan nyata oleh masyarakat di tingkat tapak," ujar Hanif dalam keterangan persnya, dikutip Kamis (13/11/2025).
Jual beli karbon secara sederhana dapat dicontohkan ketika hutan di Indonesia merupakan paru-paru raksasa yang menyerap polusi. Kemudian hutannya dijaga, sebetulnya Indonesia sedang memproduksi udara bersih.
Udara bersih itu ternyata memiliki nilai ekonomi. Di saat negara maju memproduksi polusi, mereka memerlukan cara untuk menebus dosa lingkungannya dengan ‘membeli’ udara bersih, misalnya dari Indonesia yang mampu menjaga hutan.
Dari situlah terjadi jual beli karbon yang kemudian uangnya disebut sebagai Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Masyarakat pun turut merasakan manfaatnya, seperti di Kalimantan dan Jambi, dengan program Dana Karbon Kalimantan (FCPF) dan Dana Biokarbon Jambi.
Masyarakat lokal menerima langsung pendapatan dari upaya mereka menjaga hutan yang kemudian hasilnya bisa untuk membangun fasilitas desa, modal usaha, dan kebutuhan lainnya. Bahkan, pemerintah pun menargetkan perempuan dan anak muda menjadi penerima manfaat utama.
Misalnya dengan memberikan pelatihan kewirausahaan ramah lingkungan, pengembangan energi terbarukan di tingkat desa, dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Sehingga, anak muda memiliki peluang kerja di daerah asalnya, sementara ibu-ibu juga bisa punya usaha baru.
Dalam pertemuan di COP30, Indonesia mengajak Jepang dan Britania Raya untuk berbagi pengalaman, karena tidak bisa bekerja sendiri. Di mana, kedua Negara itu sudah memiliki pengalaman dalam mengelola pasar tersebut.
(Arief Setyadi )