SURABAYA - Setelah bergulirnya berita tentang Nadia yang berganti kelamin dari pria menjadi wanita, nama Djohansjah Marzoeki kerap muncul di media massa. Padahal Djohan bukan pertama kali ini saja menangani operasi ganti kelamin, artis Dorce pun pernah menjadi pasiennya.
Djohan yang menutup identitas pribadinya, merupakan orang pertama di kawasan Indonesia Timur yang menjadi spesialis bedah plastik. Dia lulus dari Universitas Groningen, Belanda.
“Saya dulu kuliah di kampus Universitas Airlangga (Unair), Surabaya dan memilih sebagai spesialis bedah. Kemudian melanjutkan ke Universitas Groningen di Belanda sebagai spesialis bedah plastik, karena di Indonesia tidak ada, dan saya orang pertama di Indonesia bagian timur untuk spesialis bedah plastik,” ujar Djohan ketika ditemui di Johan Klinik miliknya, di Jalan Jawa Nomor 2, Surabaya, Jawa Tengah, Selasa (29/12/2009).
Dia mengaku sempat mengenyam bangku pendidikan SD dan SMP di Sumatera. Pendidikannya berlanjut ke jenjang SMA 5 di Surabaya.Setelah tamat SMA, untuk mengejar cita-citanya dia melamar sejumlah perguruan tinggi negeri di Jakarta dan Yogyakarta, dan diterima. Namun dia memilih melanjutkan studinya di Unair Surabaya.
“Orangtua dari istri pertama saya adalah seorang profesor bedah, dia memiliki teman di Belanda, ya di Universitas Groningen itu. Saya ditawari untuk bersekolah dan memang memiliki keinginan pergi keluar negeri,” tandas pria yang pernah menjadi ketua Ahli Bedah se-ASEAN itu.
Penawaran pertama dari mertua Djohan adalah menjadi bedah syaraf. Namun dirinya tidak tertarik. “Kenapa kok memilih bedah plastik? Karena memang tidak mengerti ilmu kedokteran bedah plastik dan dari awal tidak tahu, menjadi ingin mempelajari bedah plastik. Semua itu terjadi secara tidak sengaja, itulah motivasinya keinginan untuk belajar,” ungkap Djohan.
Selain, tertarik dengan ilmu kedokteran, pria yang aktif sebagai ketua Ahli Bedah Plastik di Indonesia selama 12 tahun ini merasa ilmu yang dimilikinya bisa membahagiakan orang. Sebab itu dia mengaku dalam mengobati pasien tidak hanya menangani raga pasien namun juga melihatnya dari sisi kejiwaan dan kehidupan sosial pasien.
“Sebab dari kebanyakan penderita pasien estetik atau kosmetik adalah pasikososialnya, jadi saya sebagai dokter bedah plastik tidak hanya mengobati secara badan tetapi seutuhnya dan seluruhnya,” imbuh Djohan.
“Dulu saya miskin, termasuk orang miskin kuliah menggunakan sepeda angin (onthel), dan memberanikan diri untuk berutang di bank, guna membeli semua alat-alat kedokteran dan termasuk alat-alat operasi. Kalau ada alat-alat saya akan dapat bekerja dengan baik dan saya pasti bisa,” imbuhnya.
Sejak menekuni profesinya, sekira 40 pasien ganti kelamin telah disulap Djohansjah. Pasien datang dengan latar belakang yang berbeda-beda dan tingkat kesulitan yang beragam. Saat melakukan operasi alat kelamin milik Nadia Ilmira Arkadina 2005 lalu, Djohanjah mengaku menanganinya selama 3 jam di rumah sakit DR Soetomo Surabaya.
Dia bercerita saat datang, Nadia memiliki konflik dalam dirinya, dan menyatakan keinginan untuk mengubah alat kelamin karena merasa dirinya perempuan. “Dia (Nadia) datang dan menyatakan diri untuk operasi alat kelamin, dan merasa dirinya seorang perempuan bukan laki-laki,” ujarnya
Namun, ahli bedah plastik ini mengungkapkan, tidak dapat langsung melakukan operasi, sebab harus ada Tim Khusus dari rumah sakit DR Soetomo Surabaya yang berhak untuk mengubah alat kelamin. “Untuk operasi alat kelamin itu ada aturannya, ada tata caranya sendiri, tidak sembarangan operasi, dan tidak boleh melanggar aturan tersebut,” ungkap Djohan.
Setelah dia diterima oleh Tim Khusus dari Rumah Sakit DR Soetomo Surabaya, Djohansjah mengatakan, dilakukan berbagai macam tes, termasuk di antaranya adalah, tes konfirmasi dari berbagai disiplin ilmu, ilmu bedah plastik, psikolog, psikiater, serta ilmu penyakit jiwa.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak mengeluarkan aturan atau melakukan tata cara prosedur, menurut Djohandjah, sebab yang mengeluarkan dan melakukan prosedur tentang operasi alat kelamin adalah para dokter ahli bedah plastik atau alat kelamin.
“Ada sumpah sendiri, etik itu tidak dikeluarkan oleh IDI, dan juga tidak diatur pada peraturan pemerintah, ada dokter sendiri, dan ada sumpah sendiri, jadi operasi ini, harus pada ruang lingkup UU kesehatan, peraturan dokter. Bukan hobby atau iseng saja,” katanya.
Djohansjah menambahkan, selama menjalankan profesi sebagai ahli bedah plastik, sudah melakukan operasi alat kelamin sebanyak 40 pasien. Saat operasi pasien Nadia, Dia mengatakan, sedikit mengalami kesulitan pada pembentukan vagina, jika terjadi kesalahan akan mengakibatkan komplikasi.
“Akibat terjadi kesalahan pada operasi alat kelamin yaitu komplikasi, diantaranya, buang air besar melalui vagina, merusak usus, merusak kandung kencing, dan sebagainya, sejauh ini tidak terjadi,” imbuhnya.
Djohansjah mengungkapkan, kesulitan jangka jauh bisa terjadi, pertama bentuknya jelek atau tidak baik, kedua saluran vagina itu menyempit, sehingga kelingking pun tidak dapat masuk didalamnya, usaha yang dilakukan adalah pengganjelan, pasien juga tidak bisa berhubungan seks, kalau itu terjadi maka operasi kembali.
Pada akhir kesempatan, Djohan berpandangan Nadia, memiliki kelainan yang dibawa sejak usia dini, berperilaku selayaknya perempuan, berbicara seperti perempuan, dan orang tuanya melarang tindakan tersebut, lingkungan juga mempengaruhi Nadia, sampai-sampai memberanikan diri pakai rok, sebaliknya, pakai baju laki-laki, Nadia merasa menderita.
Untuk itu, selama 3 jam operasi alat kelamin, sebagai dokter dan selaku ahli bedah plastik berharap, pasien yang menderita semoga bahagia, dan terlepas dari penderitaan.
(Fitra Iskandar)