Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

RUU Advokat Dibutuhkan untuk Menjaga Kualitas

Fiddy Anggriawan , Jurnalis-Selasa, 07 Oktober 2014 |10:45 WIB
RUU Advokat Dibutuhkan untuk Menjaga Kualitas
Aksi para pengacara menyikapi RUU Advokat (Foto: Dok Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) Frans H. Winarta mengatakan, Rancangan Undang-Undang Advokat diperlukan untuk mengatur adanya suatu badan yang terakreditasi, yaitu Dewan Advokad Nasional (DAN), sehingga mutu ujian dan pelantikan organisasi advokat akan semakin baik.
 
Dia menegaskan, DAN tidak menjadikan advokat bisa diintervensi oleh pemerintah, justru lembaga ini akan bekerja lebih independen dalam mengawasi para advokat se-Indonesia. Sedangkan pemerintah adalah koordinator semua kegiatan dan penyusunan ujian dan pelatihan advokat.
 
“Saat ini yang terjadi advokat menghadapi oligarki kepengurusan yang terus menerus mau bercokol disitu, sehingga tidak ada regenerasi kepengurusan. Ini sangat bertentangan sejarah organisasi advokat di manapun," jelas Frans saat dihubungi Okezone, Selasa (7/10/2014).
 
"Di sini para senior ingin membatasi masa jabatan advokat, hanya diperbolehkan dua kali menjabat. Kalau sudah tiga kali, berarti ini sangat keterlaluan, karena tidak sesuai dengan spirit demokrasi. Padahal advokat harus berada di garis depan dalam berdemokrasi dan memberikan contoh bagaimana berdemokrasi," lanjutnya.
 
Frans juga mengkritisi soal komersialisasi jabatan seperti pendidikan advokat bagi yang menempuh ujian advokat, termasuk sumpah, yang sebenarnya hak negara dan organisasi advokat harus hidup dari iuran dan bukan dari ujian dan pendidikan advokat.
 
Secara universal diseluruh dunia hal tersebut tidak pernah dikomersialkan. Pendidikan, serta ujian advokat harus dikoordinir dan diawasi oleh negara c.q. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
 
"Jadi pemungutan uang dalam organisasi, itu tidak dibenarkan, karena dalam kaidah universal mengatakan organisasi advokat tidak boleh mendapat penghasilan dari pendidikan, ujian apalagi sumpah. Uangnya harus masuk kas negara atau ada satu organisasi independen yang ditunjuk untuk mengelola keuangannya," tegasnya.
 
Dia menegaskan, organisasi advokat harus hidup dari iuran dan sumbangan anggota yang tidak mengikat. Dia mencontohkan, di Inggris dan Belanda kurikulum advokat dilakukan oleh Menteri Kehakiman atau Mahkamah Agung. Sedangkan, di Amerika Serikat, Mahkamah Agung bertugas melakukan sertitifikasi advokat.
 
"Sehingga peran negara dalam amandemen atau UU Advokat yang baru ini semua sudah diatur. Di mana Dewan Advokat Nasional (DAN), berperan  sebagai koordinator dan mengawasi pendidikan dan ujian advokat supaya tidak terjadi oligarki dan komersialisasi pendidikan dan ujian advokat," paparnya.
 
Dia menegaskan, para advokat seharusnya menempuh magang/praktik hukum selama dua tahun. "Jadi tidak hanya berteori saja seperti saat ini," sambungnya.
 
Tidak semua sarjana hukum, lanjut dia, dapat menjadi advokat. Ini memerlukan kualifikasi tertentu, seperti harus bisa berbicara dengan rasional, tegas, berkarakter bersih dan jujur, dilarang menyuap, serta berintegritas. Keadaan sekarang justru mafia peradilan merajalela, sudah menjadi endemik dan sistemik yang biarkan.
 
"Polisi, jaksa, hakim, telah melakukan reformasi birokrasi. Tetapi kenapa advokat belum ada? Makanya advokat memerlukan RUU Advokat sekarang," pungkasnya.

(Muhammad Saifullah )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement