Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Cak Nun, Cat Steven & Orang Jawa yang Ke-Arab-araban

Mustholih , Jurnalis-Rabu, 15 April 2015 |06:39 WIB
Cak Nun, Cat Steven & Orang Jawa yang Ke-Arab-araban
A
A
A

SEMARANG - Budayawan Emha Ainun Nadjib didaulat menggelar pertunjukkan seni musik Kyai Kanjeng di halaman Balai Kota Semarang, Jawa Tengah. Emha yang akrab disapa Cak Nun ini berhasil mengocok perut seribuan pengunjung yang menyemut di depan panggung lewat banyolan-banyolannya yang jenaka dan menghipnotis mereka lewat gelaran musik gamelan khas Jawa.

Lazimnya seorang budayawan, Cak Nun membuka pertunjukkannya dengan mengurai panjang lebar arti menjadi Orang Jawa. Menurut Cak Nun, dewasa ini Orang Jawa terutama yang muslim sudah tidak mampu membedakan antara ajaran islam dan budaya arab.

"Sekarang yang terjadi Orang Jawa gampang jadi Wong Arab," kata Cak Nun dalam pentas bertajuk Dialog Budaya bersama Emha Ainun Nadjib, Kyai Kanjeng, dan Noe Letto di Balai Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (14/4/2015) malam.

Cak Nun dan Kyai Kanjeng memulai pagelaran berpesan dakwannya pada pukul 21.00 WIB. Ketika pagelarannya dimulai, lebih dari seribu pengunjung sudah berjubel, bahkan persis sampai di paling depan muka panggung. Padahal, sebelumnya hujan lebat mengguyur Kota Semarang dari pukul 17.00 WIB hingga menjelang Isya.

Di depan seribuan pengunjung, pria yang dijuluki Kyai Mbeling ini menyatakan harus ada ritual ruwatan bagi muslim Jawa yang berperilaku kearab-araban. "Jadi perlu ada ruwatan. Karena bahaya kalau Arab sama Islam tidak dibedakkan. Jadi Nabi Adam Orang Arab. Nabi-nabi harus Orang Arab. Gusti Allah Wong Arab. Iblis Wong Jawa," ungkap Cak Nun yang segera disambut gelak tertawa para pengunjung yang hadir.

Menurut Cak Nun, menjadi Orang Jawa harus mengerti ilmu kathon (terlihat) dan ilmu rungon (mendengar). Maksudnya, menjadi Jawa harus bisa melihat perbedaan antara Islam dan Arab. "Jadi Islam sama Arab itu ada bedanya. Jadi gula dengan legi (manis) ada bedanya. Biru dengan langit itu ada bedanya," terang Cak Nun.

Adapun dalam ilmu kathon, Cak Nun melanjutkan, menjadi Orang Jawa harus bisa membedakan apa yang dia dengar dari lantunan ayat-ayat berbahasa Arab. "Jadi kalau Anda mendengar 'Allahu robbussamawati wal ardhi', Jangan bilang amin. Itu injil. Apalagi dengar, lidzalika Ya Habibi, jangan teriak-teriak Allah, Allah. Lah itu lagu sayang-sayangan antara lanang (laki-laki) sama wedhok (perempuan). Nah, mendengar itu nanti dianggap (ajaran) islam," terang Cak Nun mengutip sepenggal ayat di Injil berbahasa Arab dan sebuah lagu dari padang pasir.

Puas 'berceramah' soal menjadi Orang Jawa dan berhasil membuat para pengunjung bergelak tawa, tibalah Cak Nun mempersilakan Kyai Kanjeng memamerkan pertunjukkan seni musik. Malam itu, Kyai Kanjeng membawakan lagu Semut-semut Ireng yang begitu kental suara Gamelan Jawa dan diaransemen dengan musik yang renyah.

Selesai membawakan lagu pertama, Kyai Kanjeng membawakan lagu Wild World karya musikus dunia Cat Steven yang digubah menjadi musik Gamelan Campursari dibumbui sedikit ketukan-ketukan musik aliran Ska. "Lagu ini pernah dibawakan oleh Cat Steven dan Kyai Kanjeng saat peristiwa Tsunami Aceh," terang Cak Nun sebelum Wild World dimulai.

Lagu berikutnya, Kyai Kanjeng mengulik lagu qasidah berjudul Ya Imamarus karya Imam Busiri dari Alexandria. Seketika aransemen gamelan Jawa berpadu dengan musik Padang Pasir membahana di langit Balai Kota Semarang.

Usai Ya Imamarus dikulik Kyai Kanjeng, Cak Nun kemudian membuka sesi diskusi soal Budaya Jawa dengan mengundang anaknya, Noe Letto dan sejumlah budayawan lokal Kota Semarang. Sebelum diskusi dibuka, Cak Nun lebih dulu meminta Kyai Kanjeng membawakan lagu Lonely Won't Come Around yang memadukan aransemen Gamelan dengan jazz.

(Muhammad Saifullah )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement