"Kekerasan verbal enggak ada. Tetapi, Novel Baswedan berkali-kali tanya: 'Apa alasan penahanan? Siapa yang suruh kalian? Atasan yang mana?' Tak ada dialog," ungkap Mudji Kartika Rahayu, salah satu penasihat hukum Novel Baswedan, Jumat (1/5/2015).
Mudji bahkan heran mengapa surat perintah penahanan baru dibuat saat Novel Baswedan menolak ditahan di Rutan Mako Brimob. Surat ditandatangani penyidik AKBP Agus Prasetyo tertanggal 1 Mei 2015.
"Ada 60 pengacara yang dampingi kasus Novel Baswedan. Tadi saja saat pukul 02.00 di Bareskrim ada 10 pengacara. Kami berbagi tugas, ada pula yang ke Brimob," papar Mudji.
Mudji menambahkan, kasus Novel Baswedan dilakukan bukan dalam rangka penegakan hukum tetapi sudah bermuatan politis. Mudji menilai justru Polri mengabaikan perintaah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak melakukan kriminalisasi KPK.
"Presiden terancam padahal ia bilang agar Novel Baswedan jangan ditahan, berarti perintah dia (Jokowi) diabaikan polisi. Awalnya saat pemeriksaan kita pengacara sempat marah dan mencari Mas Novel Baswedan enggak ada. Justru pukul 08.30 setelah Kabareskrim doorstop konpers baru kita boleh masuk. Katanya Mas Novel Baswedan di lantai tiga mau antar minum saja enggak bisa," jelasnya.
Dia menilai kasus ini juga dibuat oleh polisi dengan mencari korban dalam kasus yang dilakukan Novel pada 2004. Padahal, keluarga korban tidak ingin melanjutkan kasus tersebut, namun polisi tetap mencari pelapor dari pihak korban yang luka.
"Pasalnya diubah-ubah sendiri, laporan polisinya sesungguhnya mengatasnamakan korban meninggal dunia enggak mau diteruskan. Tapi, polisi cari korban lain orang yang luka berat. Lucunya si korban ini 2012 bilang enggak pernah melapor, enggak ingin lanjut. Kemudian masalah enggak berujung di situ, ketika polisi berganti korban laporan tetap yang pertama, Novel Baswedan itu bilang saya marah kalian tegakan hukum dengan kebencian," tegas Mudji.
(Fahmi Firdaus )