Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Ramadan Spirit Optimisme

Ramadan Spirit Optimisme
Ilustrasi (Asri Dwiputri/Okezone)
A
A
A

Turunnya Wahyu pada Rasulullah merupakan kelahiran cahaya di tengah gulita peradaban jahiliyah. Diangkatnya Muhammad sebagai Rasul merupakan logika terang benderang tentang optimisme. Logika ini mengajarkan bahwa sekelam apapun kehidupan sebuah bangsa dan hancurnya tatanan masyarakat, juga serusak apapun sebuah peradaban tetaplah akan memunculkan figur-figur khusus yang tercipta atas rancangan Tuhan.

Figur yang mampu berdiri diatas kebenaran, di tengah hancurnya tamaddun dan adab. Risalah Nabi Muhammad SAW lahir di tengah kelamnya sejarah. Hal ini justru menunjukkan kepada kita agar bersikap optimis bahwa tetap akan ada manusia-manusia bersih yang akan terus lahir, berkiprah dan berjuang di masyarakat.

Di negeri ini korupsi menggurita begitu luar biasanya, menggemanya pelanggaran hukum, begitupun nilai hedonisme dan pragmatisme di masyarakat. Tapi, kita harus optimis akan menjumpai figur-figur bersih, jujur, amanah yang lahir dan bertumpu di berbagai tempat, meski figur itu tak tampak. Di masyarakar arus bawahpun juga kita ketemukan figur bersih, amanah dan mau melakukan perubahan. Sebuah sistem yang rusak ternyata masih bisa menghasilkan orang-orang baik.

Adalah Ibnu Abdi Rabbih dalam kitabnya Al Iqdul Farid yang dikutip oleh Syekh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Tarikhuna Al Muftara Alaih menjelaskan tentang figur Hajjaj Bin Yusuf Al Tsaqafi. Figur yang dicerca dalam banyak kitab-kitab sejarah. Namun, figur ini masih memiliki kelapangan jiwa di kalbunya untuk menerima argumentasi syariah. Suatu hari Hajjaj menerima pengaduan hukum dari rakyatnya, Sulaik Bin Sulkah tentang kezaliman yang dialami karena perbuatan buruk anggota keluarga Sulaik Bin Sulkah.

Menurut Sulaik, bukan merupakan keadilan jika yang berbuat salah adalah anggota keluarganya lalu dirinya ikut-ikutan dihukum. Pada mulanya Hajjaj menolak argumentasi ini, adalah sebuah kewajaran menurut Hajjaj jika seseorang dihukum karena imbas kejahatan orang lain. Namun, Sulaik Bin Sulkah kemudian mengajukan argumentasi Surat Yusuf ayat 79 yang berbunyi “Berkata Yusuf,”Aku mohon perlindungan kepada Allah dari menahan seseorang kecuali orang yang kami ketemukan harta kami padanya, jika kami berbuat demikian, maka benar-benarlah kami orang yang zalim”. Ayat ini menjelaskan tentang obyektifitas Yusuf juga keadilan Yusuf untuk tidak sembarang menghukum orang hanya karena saudara orang tersebut berbuat kesalahan.

Argumentasi ilahiyah ini akhirnya meruntuhkan logika Hajjaj. Hajjapun akhirnya memerintahkan Yazib Bin Abi Muslim untuk mengembalikan hak-hak hukum Sulaik Bin Sulkah. Kisah ini menunjukkan pada kita betapa Hajjaj yang terkenal akan kesadisannya dimana daftar kezalimannya ditulis oleh Maulana Abul A’la Al Maududi dengan sejumlah “prestasi besar”.

Dalam bukunya, Khilafah Wal Mulk, Al Maududi menjabarkan prestasi Hajjaj sejak membunuh kaum muslim sebanyak 120 ribu orang, mengancam bunuh Abdullah Bin Umar, Mencerca Anas Bin Malik dan Sahl Bin Sa’ad As Sadi, menjuluki Abdullah Bin Mas’ud sebagai imamnya kaum munafik dan mengancam untuk membunuh setiap muslim yang membaca Alquran dengan Qiraat Abdullah Bin Mas’ud serta prestasi terbesarnya adalah menghancurkan kota Makkah dan meruntuhkan kakbah dengan manjanik. Tapi sejahat apapun Hajjaj, tetap masih tersisa kebaikan untuk menerima syariah sebagaimana dijelaskan Syekh Yusuf Qardhawi di atas.

Maududipun juga menyebut kebaikan Hajjaj terutama prestasi baiknya dalam membuka jalan Islam di Sind serta kreatifitasnya dalam cara membaca Quran yang dinikmati kaum muslim sampai saat ini. Jelas, di tengah kelamnya sejarah Islam di masa Hajjaj kita masih menemukan sedikit hikmah baik kehidupannya. Serusak apapun umat Muhammad pastilah tetap ada secercah kebaikan. Serusak apapun sebuah masyarakat, pasti tetap ada figur-figur baik.

Jangankan umat Muhammad, umat sebelum Muhammad pun tetap memiliki figur dan kelompok yang baik. Lihatlah sistem di zaman Fir’aun yang rusak akidah, moral dan politik tetap ditemukan orang-orang baik. Nabiyullah Musa A.S adalah figur yang dibesarkan dalam istana Fir’aun tapi tetaplah asuhan dalam lingkungan itu tak mengubah kepribadiannya untuk menjadi Nabi. Fir’aun berkata dalam Quran “Bukankah Kami telah mengasuhmu diantara keluarga kami waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.” (Asy Syu’araa’ ayat 18). Menurut sebuah riwayat, Musa tinggal bersama Fir’aun selama 18 tahun.

Tapi Musa tak terpengaruh sistem itu. Musa tetap figur maksum tanpa celah maksiat tauhid dan akhlak. Begitupun juga Istri Firaun yang diabadikan dalam Quran, Asiah yang namanya bersama Maryam tercantum dalam beberapa kitab maulid merupakan figur yang bersih ditengah sistem yang hancur. Surat At Tahrim menceritakan doanya tentang istana di surga dan doa permohonan keselamatan dari Fir’aun dan kaumnya yang zalim. Meski hidup dalam istana, sistem monarki absolut tirani yang otoriter, Asiah masih memiliki keimanan kukuh luar biasa. Hal yang sama juga dialami Masyitah, tukang rias istri Fir’aun yang bau harumnya tercium oleh Rasul saat Mi’raj.

Tiga figur diatas (Musa, Asiah, Masyitah) masih dilengkapi lagi figur keempat yang disebut dalam Quran Surat Al Mu’min ayat 28 “Dan seorang lelaki beriman diantara pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata “Apakah kamu akan membunuh seorang lelaki karena dia menyatakan Tuhanku ialah Allah”. Ternyata, lagi-lagi sistem yang rusak masih memiliki orang baik di dalamnya. Laki-laki tersebut bukti bahwa tetap ada cahaya keimanan di tengah gelapnya malam kekufuran.

Di luar keempat figur itu ternyata sistem otoriter politheis ala Fir’aun masih memiliki sekelompok orang yang masih memiliki adab. Mereka adalah para tukang sihirnya Fir’aun. Ulama-ulama Ahlu Sunnah menjelaskan bahwa para tukang sihir ini beriman kepada nabi Musa dan Harun sesaat setelah kalah dalam pertandingan melawan Musa bukanlah karena mereka kalah tanding. Mereka beriman kepada Nabi Musa dan Harun karena masih terdapatnya adab dalam diri mereka.

Adab ini disebutkan dalam Surat Taha ayat 65 “Hai Musa apakah Kamu yang melemparkan dulu atau kamikah orang yang mula-mula melemparkan?”. Para tukang sihir ini menjauhi sikap egois-otoriter tapi menghargai eksistensi Musa dengan penghormatan yang dalam. Para tukang sihir ini menawarkan opsi kepada Musa apakah Musa yang melemparkan tongkatnya terlebih dulu ataukah tukang sihir itu yang melemparkan tongkat dan tali temali mereka lebih dulu. Mereka membuka ruang dialog yang leluasa meski mereka berada di pihak yang kuat.

Didikan Fir’aun tak mempan pada para tukang sihir ini. Meski dididik dalam sistem yang rusak, mereka masih memiliki adab. Ini bukti bahwa sistem dan masyarakat yang jahil tetap memiliki peluang lahirnya keimanan dan kebaikan. Kita harus optimis akan hal ini. Maka, Ramadan mengajarkan optimisme.

Kita dididik sebulan penuh untuk menjadi manusia taat yang mungkin bisa mengadakan perubahan. Kita optimis karena ternyata Nabi Muhammad bisa lahir di tengah kelamnya jahiliyah dan Alquran diwahyukan di tengah gulitanya kebodohan, keangkuhan dan sarkasme peradaban. Mari berjiwa optimis, jika Alquran turun di tengah kegelapan tamaddun, maka kita yakin pasti Alquran pun tetap akan melahirkan manusia-manusia yang dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Penulis adalah Pemerhati Masalah Keagamaan.

(Muhammad Saifullah )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement