Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Perjanjian Linggarjati 'Dirobek-Robek', Belanda Lancarkan Clash Pertama

Randy Wirayudha , Jurnalis-Selasa, 21 Juli 2015 |13:12 WIB
Perjanjian Linggarjati 'Dirobek-Robek', Belanda Lancarkan <i>Clash</i> Pertama
Langgar Kesepakatan Linggarjati, militer Belanda lancarkan Clash I (Foto: Wikipedia)
A
A
A

PENAFSIRAN berbeda dari kedua pihak terhadap Perjanjian Linggarjati, membuat agresi dari pihak Belanda tak terhindarkan lagi. Secara sepihak, Belanda ‘merobek-robek’ perjanjian yang hanya bertahan seumur jagung itu untuk kemudian melancarkan Clash I atau Agresi Militer Pertama, 21 Juli 1947.

Ancang-ancang Belanda untuk melancarkan serbuan sudah nampak kentara sejak 15 Juli di tahun yang sama, ketika Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Hubertus van Mook, melayangkan ultimatum untuk Republik Indonesia (RI) agar mundur 10 kilometer dari garis demarkasi. Sebuah permintaan yang ditolak mentah-mentah pihak republik.

Sedianya sejumlah unsur militer Belanda sudah mulai merangsek ke berbagai wilayah republik sejak 20 Juli 1947 malam, di mana saat itu pula Van Mook baru menyatakan tak lagi terikat Perjanjian Linggarjati, yang dilayangkannya pada konferensi pers di istana.

Seperti yang terjadi di Jakarta, di mana kantor-kantor pemerintahan republik dikuasai, sekaligus para pegawainya ditangkap. Mereka dijebloskan ke Penjara Bukit Duri. Perintah resmi agresi dengan kode “Operatie Produkt”, akhirnya baru disampaikan Perdana Menteri Belanda, L.J.M. Beel pada pukul 00.00 atas rekomendasi Van Mook.

Sejumlah wilayah republik di Pulau Sumatera dan Jawa diserang dari darat, laut dan udara. Sasaran-sasaran itu untuk menduduki sumber daya alam demi menopang kelangsungan kekuatan militer mereka.

“Agresi I Belanda sasarannya wilayah penghasil sumber daya alam seperti perkebunan tembakau, teh dan kopi di Jember, Probolinggo, Tasikmalaya, Gombong, Garut. Juga obyek vital minyak di Jambi, Medan dan Pekanbaru,” papar penggiat sejarah Wahyu Bowo Laksono dihubungi Okezone, Senin (21/7/2015).

Hampir seluruh kekuatan dengan total 200 ribu personel dikerahkan Belanda dari berbagai unit, termasuk Korps Speciale Troepen (satuan khusus Belanda) pimpinan Kapten Raymond Westerling yang sebelumnya berada di balik layar pembantaian Sulawesi Selatan.

Sebagaimana dikutip dari buku ‘Kronik Revolusi Indonesia: 1947’, Belanda menerjunkan tiga divisi di seantero Pulau Jawa.

Divisi B KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische Leger) atau pasukan Hindia-Belanda dan Divisi C-7 Desember dari Koninklijke Landmacht (Angkatan Darat Belanda) dari Jakarta, Bandung dan Bogor untuk menyerbu segenap wilayah Jawa Barat.

Sementara Divisi IV yang terdiri dari unsur Brigade X KNIL dan Mariniersbrigade (Brigade Marinir Belanda) yang bertempat di Surabaya menyerang Banyuwangi. Sementara Tijger (T) Brigade merangsek ke Semarang dan Pekalongan.

Angkatan Udara Belanda juga ikut andil menyerang beberapa pangkalan udara tentara republik peninggalan Jepang, termasuk pangkalan Maguwo (di beberapa sumber disebutkan Maguwo selamat dari serangan karena kabut tebal). Ada pun Sumatera diserang tiga Brigade (Z, U dan Y) dengan sasaran Medan, Padang, Palembang, Jambi dan Pekanbaru.

Sedangkan Angkatan Laut Belanda beraksi menyerang pangkalan dan basis ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia, kini TNI AL) di Pantai Pasir Putih, Situbondo, serta di Panarukan.

Hampir semua kekuatan republik kalah dalam hal persenjataan. Sejumlah basis pertahanan pun terpaksa ditinggalkan dan masuk pedalaman, membentuk gugus “Wehrkreise” dan bergerilya. Belanda baru mau menghentikan serangannya ketika Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan via Resolusi no.27 tertanggal 1 Agustus 1947.

(Randy Wirayudha)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement