Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Mengenal Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

Bramantyo , Jurnalis-Jum'at, 25 September 2015 |15:07 WIB
Mengenal Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Kakek Glunde tetap bersemangat menggeluti kerja furnitur (Foto: Bramantyo/Okezone)
A
A
A

SUKOHARJO - Suara desingan mesin pemotong kayu terdengar keras dan memekakkan telinga. Di sekitarnya nampak serpihan tumpukan bubuk kayu memenuhi lantai bahkan sebagian besar juga berhampuran ke udara.

Butiran padat hasil pemotongan yang menyesakan nafas tidak melunturkan semangat kakek berusia sekitar 65 tahun tersebut untuk bekerja.

Meski kaki sebelah kanannya terpaksa diamputasi dan menggunakan kaki palsu untuk beraktifitas akibat penyakit gula (diabetes) yang dideritanya, tak menyurutkan semangat Glunde -biasa dipanggil- untuk terus bekerja.

Glunde terlihat sibuk memotong potongan kayu-kayu dengan menggunakan mesin pemotong kayu. Dirinya tak memperdulikan lagi sekujur pakaian yang dikenakan penuh dengan serbuk-serbuk kayu hasil dari pemotongan yang dilakukan.

Tak hanya Glunde yang terlihat serius bekerja. Empat orang tenaga Glunde pun terlihat tak mau kalah dengan sang pemilik home industri Industri Kecil Mandiri yang beralamat di Desa Trangsan, Gawok Sukoharjo,Jawa Tengah ini. Di home industry ini banyak sekali ditemukan industri olahan kayu sejenis.

Tak harus menunggu lagi perintah dari sang majikan lagi, empat karyawan Glunde ini seakan sudah tahu apa aktivitas yang harus mereka lakukan. Mereka pun ada yang mengukur kayu, memotong juga mengamplas kayu menjadi halus dan bersih hingga finising hasil akhir.

Sedang lainnya merangkai potongan kayu menjadi kerangka berbentuk kotak. Mereka bekerja dengan alat seadanya. Gergaji mesin yang mereka punya juga berukuran sedang.

Tidak seperti gergaji milik pengusaha besar. Mereka juga bekerja tanpa menggunakan masker penutup hidung. Padahal, serbuk hasil potongan kayu nampak beterbangan di sekitar lokasi kerja mereka.

Itulah kondisi IKM milik salah satu warga desa Trangsan, Gawok Sukoharjo yang terkenal dengan indutri olahan kayu. Berlokasi di sekitar stasiun Gawok, di sepanjang jalan banyak sekali industri kayu skala besar yang bertebaran di sepanjang jalan. Industri besar tersebut memanfaatkan IKM yang berada di sekitar lokasi pabrik.

Pemilik IKM pengolahan kayu yang dijadikan rangka beragam kerajinan rotan mengaku tidak tahu terkait izin legalitas kayu. Selama ini dia hanya menjadi pemasuk bagi industri ekspor besar yang berlokasi di sekitar kawasan industri Trangsan.

"Legalitas kayu niku nopo (legalitas kayu itu apa-red)?" tanya Glunde saat dikunjungi Okezone di lokasi usahanya di wilayah Trangsan, Gawok, Sukoharjo, Jawa Tengah belum lama ini.

Glunde mengaku tidak mengetahui arti dan fungsi dari legalitas sebuah kayu yang saat ini sedang ramai di perbincangkan. Glunde yang sudah memulai usahanya sejak puluhan tahun lalu selama ini tidak merasa ada masalah dengan izin dan juga pasokan kayu sebagai bahan utama bagi usahanya.

Selama ini pasokan kayu untuk IKM yang banyak bertebaran di wilayah Trangsan banyak di pasok dari wilayah Wonogiri, Serenan, dan juga Gunung Kidul - Yogyakarta. Jumlah dan jenis kayu yang dipasok juga beragam sesuai kebutuhan yang ada.

Sejak pemerintah mulai mewajibkan penggunaan kayu harus disertai sertifikat legal maka pelaku industri kayu seperti furnitur harus memiliki dokumen keabsahan kayu yang dikelautkan dalam bentuk surat, nota atau sejenisnya.

Glunde sendiri mengaku sempat didatangi oleh pegawai salah satu industri kayu olahan di Sukoharjo di mana dia biasa menyetor kayu rangka agar melengkapi surat asal-usul kayunya.

"Kemarin didatangi petugas pabrik yang menyuruh untuk melengkapi surat 'saka ndi (dari mana) asal kayune (kayunya)', dan disetor ke pabrik suratnya," paparnya.

Karena tak paham dengan aturan itu semua, Glunde mengaku tak berusaha mencarinya. Dirinya pun tetap mencari kayu tanpa adannya surat-surat.

Kondisi tak jauh berbeda juga dialami oleh Wagiyo salah satu pemiliki hutan rakyat di kawasan Jumantono Karanganyar,Jawa Tengah. Wagio mengaku tidak tahu apa itu SVLK.

Selama ini Wagiyo yang memiliki lahan yang ditanami pohon jati dan juga sengon biasa menjual kayu gelondongan pada sejumlah pengusaha kayu di sentra kerajinan yang ada di Sukoharjo, Karanganyar, juga Sragen.

"Napa yen enten surat niku regine kayu dados mundak. Lak mboten tho, (apakah setelah mengantongi surat itu harga kayu jadi naik, kan tidak-red)," tanyanya.

Wagiyo mendapat pengarahan dari pabrik dimana dia biasa menjual produk kayunya, jika akan mengirim kayu harus pakai surat jalan yang menyatakan kayu itu berasal dari lahan miliknya di sertai foto copy kartu identitas.

"Saat ini setelah ada pemberitahuan setiap kirim barang selalu saya kasih nota dan tanda tangan dan dibawa sopirnya ke pabrik," katanya.

Tak hanya Glunde dan Wagio saja yang tak tahu apa itu SVLK. Pengambil kebijakan di tingkat daerah, dalam hal ini bupati pun tak tahu apa itu SVLK.

Bupati Karanganyar Juliatmono terang-terangan tak tahu apa itu SVLK dan apa kegunaan dari SVLK. Pasalnya, sejak dirinya duduk di kursi legislatif hingga saat ini menjabat sebagai bupati, dirinya belum pernah tahu bila di kabupaten yang dipimpinnya mengetahui mekanisme alur pengurusan SVLK.

"SVLK itu apa? Baru kali ini saya dengar. Saya belum tahu apa itu SVLK. Apa sejenis dari surat keterangan yang dikeluarkan RT dan RW ya. Coba tanyakan saja ke Kantor Badan Pengelolaan Perizinan Satu Atap. Atau ke Disperindakop. Mungkin tahu apa itu SVLK," ungkap Juliatmono saat ditemui Okezone terpisah.

Namun, ibarat setali dua uang, seperti halnya bupati yang tak tahu apa itu SVLK, Kepala Badan Pengelolaan Perizinan Satu Atap Bahtia pun tak tahu apa itu SVLK.

Sebab, di lembaganya tidak ada itu pengurusan izin untuk mendapatkan SVLK. Yang ada di instansinya hanyalah HO, SIUP, Tanda Daftar Perusahaan (TDP) saja.

"Itu aturan baru ya. Kami belum dapat sosialisasinya. yang ada di kami hanyalah HO, SIUP TDP saja. Kalau izin untuk mengurusi SVLK tidak ada," ungkap Bahtiar.

Sementara itu di sisi lain, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai harga mati untuk legalitas kayu asal Indonesia. Selain merupakan aturan harga mati dari negara-negara Eropa, SVLK diharapkan mampu menekan kerusakan hutan akibat terjadinya pembalakan liar dan pasar gelap kayu.

Untuk memberlakukan eskspor ke luar negeri khususnya Uni Eropa perusahaan harus memiliki dokumen bahwa produknya berasal dari kayu yang diambil secara legal. Untuk itu pemerintah memberlakukan syarat ketat untuk legalitas kayu.

Pemerintah mewajibkan bagi pelaku industri yang akan mengurus SVLK harus mendapatkan legalitas usaha dari pemerintah setempat.

Bayangkan saja untuk membuat satu persyaratan saja seperti sertifikasi Analisis Dampak Lingkungan (amdal), seperti, Izin Usaha Industri (IUI), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL).

Yang menjadi pertanyaan sebenarnya, SVLK ditujukan untuk apa dan kepada siapa. Seandainya ditujukan pada pelaku usaha kenapa untuk pengurusan izin mendapatkan SVLK harus berbelit dan membutuhkan biaya mahal.

Jika SVLK untuk melindungi legalitas kayu, ternyata masih banyak eksploitasi hutan yang berlebihan. Masih banyak pelaku pembalakan hutan yang belum tersentuh hukum.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sendiri ditengarai banyak kalangan bukan jaminan bahwa peredaran kayu ilegal akan terputus begitu saja. Justru seharusnya pemerintah lakukan hal yang sama bagi seluruh industri yang menggunakan hasil hutan.

Dengan begitu perdagangan kayu ilegal tidak bisa lagi diperdagangkan dan untuk memastikan pengelolaan hutan secara legal dan lestari. SVLK juga diharapkan akan mengurangi kerusakan hutan alam sebagai akibat dari pembalakan kayu atau sumber bahan baku yang keberadaan asal usulnya tidak jelas.

Hal tersebut diutarakan Muhsin salah satu pelaku usaha mebel kualitas ekspor yang berlokasi di kawasan Mojosongo, Solo, Jawa Tengah. Muhsin menyebut seharusnya penerapan SVLK itu berada di bagian hulu.

"SVLK itu kan terkait legalitas kayu, seharusnya suplier kayu yang diterapkan SVLK. Karena supplierlah yang tahu bagaimana riwayat dan asal dari kayu yang mereka ambil. Bukan para pengusahanya yang diterapkan SVLK," ungkap Muhsin.

Muhsin juga menyebutkan seandainya SVLK juga diterapkan mulai dari hulu, pastinya semua akan enak. Eksportir, IKM, juga supplier jadi sama-sama enak. Setidaknya dengan memberlakukan skema SVLK bagi seluruh industri kehutanan maka legalitas kayu bisa dipertanggungjawabkan.

"Justru anehnya kenapa justru industri mebel yang harus ditekan menggunakan SVLK," keluhnya.

Bagi sebagian besar kalangan SVLK yang akan diberlakukan pemerintah yang bertujuan untuk melegalkan kayu asal Indonesia, juga menjadikan hutan tetap lestari. Namun, sejumlah pertanyaan muncul terkait penerapan SVLK oleh pemerintah mampu untuk menyehatkan hutan Indonesia khususnya.

Selama ini Indonesia sudah memiliki citra buruk terkait illegal logging. Pasalnya SVLK di terapkan hanya untuk menjamin bahwa kayu asal Indonesia merupakan kayu legal namun sejauh ini belum menjamin masalah kelestarian hutan.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Arupa Aliansi Relawan Untuk Penyelamatan Alam (ARUPA) Dwi Nugroho. Dwi mengatakan, terkait SVLK sendiri prinsip yang akan dicapai adalah menjadikan tata kelola hutan Indonesia menjadi lebih baik. Prinsip dari SVLK sendiri adalah ketelusuran kayu dimana asal kayu bisa ditelusur sampai pada lokasi kayunya.

"Jadi dengan adanya legalitas kayu, asal-usul kayu bisa ditelusuri darimana asalnya," jelasnya.

Dwi juga menyebutkan perlunya konsep kelestarian hutan seperti yang di usung SVLK. Namun, ada banyak aspek terkait pengelolaan hutan yaitu kelestraian produksi, aspek kelestarian sosial dan aspek kelestarian ekologi.

"Saat ini acuan SVLK baru mengacu pada satu konsep saja yakni aspek aspek produksi saja," lanjut Dwi

Dwi juga mencontohkan yang perlu dilakukan terkait aspek kelestarian produksi, yakni pengelola tidak boleh menebang melebihi jatah tebang yang sudah ditetapkan.

Penebangan kayu juga tidak berdampak negatif pada ekologi dan sosial. Sedangkan aspek sosial yaitu ada rencana pengelolaan lingkungan.

"Sedangkan kelestarian aspek sosial mengatur bagaimana jika terjadi konflik. Karena sudah ada antisipasi sebelumnya harus dipastikan di lapangan tidak ada konflik," paparnya.

Sementara itu keluarnya kebijakan dari pemerintah untuk pelaku IKM harus menempel SVLK bagi produk kayu ekspor juga belum menjamin keberadaan kayu dari sertifikat lestari. Saat ini belum ada kebijakan yang mengakomodir tentang sertifikat lestari.

Saat ini pemerintah baru mengatur kebijakan kayu legal. Dengan memberikan imbauan penggunaan kayu legal. Makin rusaknya hutan dan eksploitasi hasil hutan khususnya kayu yang berlebihan membuat stok kayu berkurang.

Sedangkan kebutuhan pasar baik dalam dan luar negeri makin meningkat. Masyarakat saat ini masyarakat mulai beralih ke kayu rakyat yang berasal dari hutan lestari. Dimana kayu hutan lestari keberadaannya tetap tersedia secara kontinyu.

Dwi Nugroho juga menyampaikan saat ini, petani rakyat tidak akan melakukan penebangan semaunya sendiri. Tren di kalangan petani sudah terbiasa melakukan pengelolaan hutan berbasis lestari agar ketersediaan kayu bisa dinikmati hingga turun temurun.

"Kita bekerja sama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sedang melakukan pendampingan yang telah meluluskan tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) di tiga Kabupaten, yakni Bantul, Gunung Kidul dan Boyolali," terang Dwi lagi.

Bahkan tren kayu rakyat sedang menjadi trend dimana kayu rakyat merupakan pemasok terbesar untuk industri mebel. Bahkan sebagian besar produk IKM Jawa Tengah menggunakan bahan baku yang dihasilkan hutan rakyat.

Wiradadi Soeprayogo, selaku Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA) Jateng membenarkan saat ini bahan baku yang berasal dari kayu rakyat sangat diminati. Untuk pasar luar negeri, Cina merupakan pangsa pasar terbesar.

"Kayu rakyat saat ini lebih diminati karena bahan bakunya melimpah, dan tidak merusak alam. Karena masa panen cepat, dan langsung ditanami kembali," jelasnya.

Meski banyak orang yang mendukung pelestarian hutan dengan berbagai macam aksinya namun sejauhmana peran pemerintah dengan program legalitas kayunya mampu menyehatkan lagi paru-paru dunia, khususnya di wilayah nusantara. Salah satunya dengan mengajarkan cara memperbaiki ekosistem yang rusak dengan menanam pepohonan di wilayah di mana hutan telah ditebang secara liar.

(Rizka Diputra)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement