JAKARTA – Mayor Subardi merupakan kawan lama yang kemudian dijadikan ajudan terdekat Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani. Namun Mayor Bardi baru tahu kejadian pembunuhan Jenderal Yani pada suatu Jumat pagi, 1 Oktober 1965.
Itu pun setelah salah satu pembantu rumah kediaman Jenderal Yani di Jalan Lembang D58, Jakarta Pusat, mendatangi rumah kecil yang ditempati Mayor Bardi, dekat dengan kediaman sang jenderal.
Di pagi itu juga, Mayor Bardi bertemu Pangdam Jaya Mayjen TNI Umar Wirahadikusuma yang mendatangi rumah Jenderal Yani. Keduanya memutuskan “mengungsikan” istri Yani dan anak-anaknya ke rumah kerabat, Jenderal Maryadi di Cipete, Jakarta Pusat.
Subardi kemudian mengusulkan kepada Mayjen Umar, untuk meminta pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Kolonel Sarwo Edhie, untuk menutup semua jalan protokol Jakarta.
Keduanya pun berangkat ke kediaman mertua Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu di Cijantung. Perjalanan Subardi berikutnya mengarah ke Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) untuk melapor ke Mayjen Soeharto.
Pasca-laporan singkat soal apa yang terjadi dengan Jenderal Yani, Subardi kembali ke Jalan Lembang. Keluarga Jenderal Yani pun segera menanyakan kabar sang jenderal.
“Kita tanya sama Om Bardi soal bapak di mana. Bilangnya, bapak ada di Istana sama Soekarno, luka bapak diobati,” kenang salah satu putri Jenderal Yani, Amelia A. Yani kepada Okezone.
Subardi baru bergerak lagi setelah ada info di sekitar Bandara Halim Perdanakusuma. Sempat terjadi pengepungan dan kontak senjata antara Batalion 330 Kudjang Siliwangi dengan beberapa elemen Pasukan Diponegoro. Hal itu segera dilaporkan Subardi ke Danyon RPKAD, Mayor C.I Santoso.
Keesokannya pada subuh, 3 Oktober, Subardi mendapat telefon dari Kolonel Ali Murtopo untuk segera datang ke Makostrad. Subardi dikabarkan Jenderal Yani positif sudah tinggal nama.
Di hari itu pula Subardi bertemu agen polisi Sukitman yang mengaku tahu soal tempat para jenderal dihabisi, di Lubang Buaya. Dengan usulan Sarwo Edhie, Subardi membawa Agen Polisi II Sukitman ke Cijantung, untuk kemudian dimintai sebagai pemandu guna mencari jenazah para jenderal.
Subardi pun dengan dukungan satu kompi RPKAD, menuju Lubang Buaya dan di sana, mereka bersua Pasukan Gerak Tjepat (kini Paskhas) TNI AU tengah mengemasi sejumlah tenda. Mereka minta diberi waktu untuk membereskan tenda-tenda itu, untuk kemudian baru mempersilakan rombongan Subardi masuk Lubang Buaya.
Tak lama setelah berada di lokasi, Subardi didatangi petinggi pasukan Tjakrabirawa, Kolonel Slamet dan beberapa dokter dari AURI. Tapi kedatangan mereka seolah “dicuekin” dan kemudian memilih undur diri.
Setelah sempat lama Subardi dengan dipandu Sukitman mencari sumur yang katanya, dijadikan tempat pembuangan jenazah para jenderal. Pada saat magrib dan suasana turun hujan, sumur itu ditemukan. Penggalian dibantu empat warga sekitar dan kemudian para anggota KKO (kini Marinir TNI AL).
Subardi kemudian melapor pada Soeharto, sekira pukul 02.00 dini hari ketika tanggal sudah berganti 4 Oktober. Subardi diminta tak mengangkat jenazah itu sampai Soeharto tiba di lokasi. Subardi pun kembali. Pun begitu, Soeharto baru datang ke lokasi pada pukul 14.00 WIB.
Subardi juga tak lupa mengabari keluarga Jenderal Yani yang masih dalam pengungsian di Cipete. “Om Bardi datang dengan keadaan penuh lumpur. Matanya merah. Dia bilang bapak sudah ditemukan. Dia masuk ke kamar ibu. Di situ Om Bardi mengabarkan sembari menangis,” tandas Amelia.
(Randy Wirayudha)