RAWALPINDI – Dunia memperingati Hari Pembebasan Perbudakan Internasional. Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), sebanyak 21 juta orang di seluruh dunia masih menjadi korban perbudakan.
Salah satu trik umum yang terjadi dalam perbudakan adalah dengan memberikan pinjaman uang kepada masyarakat miskin. Hal itu seperti yang terjadi di Rawalpindi, Pakistan. Trik yang jamak terjadi ini kemudian memaksa masyarakat miskin yang diberi pinjaman uang bekerja di pabrik batu bata setempat untuk melunasi utang.
Namun, jumlah pinjaman mereka bisa saja tiba-tiba membengkak. Jangka waktu pelunasan utang pun terkadang tidak jelas. Ketidakmampuan mereka membayar pinjaman dijadikan tameng oleh pengusaha batu bata untuk mengikat dan membayar mereka dengan harga murah.
Ada sekira 50 keluarga, termasuk Naseem Bibi, yang menjadi korban praktik kerja paksa tersebut di Rawalpindi. Setiap hari mereka dipaksa membuat ribuan batu bata. Namun, mereka hanya dibayar setengah dari upah minimum Pakistan sebesar USD9 atau sekira Rp123 ribu per bulan.
Para penduduk miskin itu tidak punya pilihan lain. Menjadi perajin batu bata adalah satu-satunya jalan mereka untuk bertahan hidup. Suami dari Naseem, Mohammed Riaz, bahkan sudah menjadi perajin sejak umur 14 tahun. Sudah 17 tahun hidupnya dihabiskan untuk bekerja di pabrik demi melunasi utangnya.
“Mereka mengambil US3 dari upah kami, tapi mereka tidak pernah menghitung berapa sisa utang yang harus kami lunasi,” ujar Riaz, seperti diberitakan Channel News Asia, Rabu (2/12/2015).
“Kami membuat lebih dari 1.000 batu bata per hari. Namun, mereka bilang hanya 900 buah. Setelah dua atau tiga bulan, tiba-tiba utang saya membengkak menjadi USD200 hingga USD300,” lanjutnya.
Batu bata adalah industri dengan omzet hingga jutaan dolar Amerika per hari. Diperkirakan ada 20 ribu pabrik batu bata di seluruh Pakistan. Kebanyakan dari mereka mempekerjakan paksa masyarakat miskin. Mereka tidak punya pilihan kecuali tetap bekerja di pabrik-pabrik batu bata.
Kini aktivis-aktivis lokal mulai berani bersuara. Front Pembebasan Pekerja Paksa (BLLF) berjuang menghapuskan perbudakan modern di Pakistan. Mereka sudah berhasil membebaskan sekira 80 ribu pekerja dari jeratan para pemilik pabrik batu bata.
“Kami berjuang dalam sebuah perang yang panjang. Untuk apa ini semua? Untuk kebebasan kita. Sekolah-sekolah didirikan dengan batu bata buatan tangan kita. Apakah anak-anak kita ada di sekolah-sekolah itu? Tidak. Kita ingin mereka bisa sekolah,” ujar Sekjen BLLF, Syeda Ghulam Fatima, dalam pidato di depan anggotanya.
Menurut penelitian, sekira 4,5 juta orang menjadi pekerja paksa di Pakistan. Mereka-mereka inilah target utama BLLF untuk diberikan pengetahuan mengenai hukum ketenagakerjaan dan hak asasi manusia.
Namun, otoritas setempat menolak data tersebut. Mereka mengklaim pengawasan dan kontrol yang ketat sudah diterapkan lewat inspeksi ketat.
“Ada beberapa praktik tradisional yang masih berlangsung bertahun-tahun. Namun, itu bukanlah perbudakan seperti yang negara lain pikirkan di mana para pekerja tidak dibayar sebagaimana mestinya. Kasus tersebut tidak mungkin ada di Pakistan,” elak Ishrat Ali, Menteri Tenaga Kerja Pakistan.
Salah satu korban yang berhasil keluar dari perbudakan dengan bantuan BLLF memberikan kesaksiannya.
“Pemilik pabrik mengancam akan menjual anak perempuan saya. Tapi, saya tidak gentar. Saya menuntut kenaikan upah, namun mereka malah ingin membunuh saya. Pengadilan dan polisi tidak bisa diharapkan,” ujar Sharif Massi.
Ketidakdilan berlaku bagi orang-orang seperti Naseem Bibi, Mohammed Raiz, dan Sharif Massi. Mereka menjadi korban perbudakan karena kemiskinan yang merajalela di Pakistan. Mereka tidak punya pilihan lain. Tenaga mereka dieksploitasi tanpa pernah mendapatkan bayaran sesuai sehingga mereka tetap hidup di bawah garis kemiskinan.
(Randy Wirayudha)