Komunitas jawi ini termasuk yang terbesar dari semua bangsa di dunia yang berada di tanah suci Makkah. Jumlah warga Indonesia yang bermukin di Makkah terus meningkat sejak pertengahan abad 19. Pada 1931, setidaknya terdapat 10 ribu wong jawah di Makkah.
Sebenarnya mereka adalah komunitas pelajar. Orang-orang menetap di Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Kemudian di abad 17 muncul seorang pelajar Jawa yang di kemudian hari diketahui sebagai Syekh Yusuf Makatsari. Ia berangkat ke Tanah Suci pada 1644, dan baru kembali ke Indonesia sekira 1670.
Ia terkenal gigih dalam menuntut ilmu dan banyak belajar ke para ulama besar, terutama ulama taswuf. Syekh Yusuf lalu mendapat ijazah untuk mengajar berbagai tarekat. Di bawah bimbingan Syekh Ibrahim Alqurani di Madinah, Syekh Yusuf antara lain mempelajari kitab falsafah, ilmu kalam, dan tasawuf yang sangat sulit seperti Al Ghurrah al Faqirah karangan Abdurrahman Janiy.
Setelah pulang ke Indonesia, Syekh Yusuf tidak hanya menyebarkan Tarekat Khaltawiyah, tetapi punya peranan politik cukup penting sebagai penasihat Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Ketika kompeni Belanda campur tangan dalam urusan internal Banten dan membantu putra Sultan Ageng, Sultan Haji, dalam tindakan menyingkirakan ayahnya, Syekh Yusuf membawa penganutnya ke gunung dan memimpin gerilya melawan belanda. Tetapi sampai akhirnya, setelah hampir 2 tahun, ia ditangkap kemudian dibuang ke Selon atau Sri Lanka.
(Hantoro)