COX’S BAZAAR – Bagi puluhan ribu warga etnis Rohingya, perahu kayu kecil berarti nyawa mereka selamat setidaknya untuk sementara waktu. Kapal-kapal kayu kecil itu digunakan untuk lari dari penyiksaan yang dilakukan militer Myanmar di Rakhine State menuju Bangladesh.
Akan tetapi, tentu tidak ada yang gratis. Sejumlah pengungsi Rohingya mengatakan, mereka membayar sekira 10 ribu taka Bangladesh (setara Rp1,6 juta) per orang untuk menyeberangi sungai dari Myanmar menuju kota-kota pelabuhan di wilayah selatan negara yang dulu disebut Pakistan Timur.
Sejumlah nelayan mengaku punya kewajiban moral untuk membantu sesama Muslim yang sedang menderita. Pemerintah Bangladesh sendiri menuduh para nelayan itu mengambil untung dari kesusahan orang lain. Otoritas kadang melakukan razia dan membakar perahu-perahu tersebut.
“Tentu saja kami ingin kembali untuk menyelamatkan lebih banyak orang. Saudara Muslim kami sedang dalam situasi buruk, jadi saya harus pergi dan membawa mereka,” ujar seorang nelayan bernama Mohammed Alom, sebagaimana melansir dari Independent, Sabtu (16/9/2017).
Seorang petugas di perbatasan, Letnan Kolonel Ariful Islam, enggan memanggil para nelayan seperti Alom sebagai penyelamat. Sebab, orang-orang itu justru membantu dengan motif uang. Namun, para ‘penyelamat’ itu menolak jika disebut mengambil untung dari misi kemanusiaan tersebut.
Reuters sempat menemui serta mewawancarai tiga orang nelayan etnis Rohingya dan dua orang Bangladesh yang bertindak sebagai pemilik perahu-perahu tersebut. Salah satunya adalah Shaif Ullah yang mendapatkan untung sebesar 100 ribu taka (setara Rp16 juta) setelah menyelamatkan satu keluarga etnis Rohingya di Malaysia.
“Orang-orang dari Malaysia dan Arab Saudi memanggilku dan memintaku untuk pergi menyelamatkan keluarganya. Mereka mengemis minta pertolongan. Saya memang mendapat uang dari mereka, tetapi itu juga aksi kemanusiaan,” ujar pria asli Bangladesh berusia 34 tahun itu.
Dua orang pengungsi yang namanya dirahasiakan mengaku anggota keluarganya ditahan oleh para nelayan atau makelar di Bangladesh karena tidak mampu membayar biaya perjalanan. Harta benda mereka juga diambil sebagai ganti biaya sewa perahu. Meski demikian, mereka tetap bersyukur akan keberadaan para nelayan tersebut karena bisa selamat dari kekerasan di Rakhine.
(Wikanto Arungbudoyo)