JAKARTA - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo tidak ingin mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait wacana penetapan tersangka calon kepala daerah yang akan berlaga pada Pilkada Serentak 2018.
KPK sendiri mengaku mendapat 368 laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para calon kepala daerah.
(Baca Juga: KPK Bidik 34 Calon Kepala Daerah yang Diduga Terjerat Kasus Korupsi)
Dari 368 laporan tersebut, lembaga antirasuah bersama PPATK telah menganalisa ada 34 cakada yang terindikasi kuat terlibat dalam praktik korupsi. Dari 34 cakada itu, hampir seluruhnya akan menjadi tersangka.
"Ya tentunya kami juga tidak bisa mengintervensi KPK karena KPK punya masing-masing kewenangan, Kapolri juga punya pendapat yang kita perlu hormati masing-masing pendapatnya," kata Tjahjo usai Rakornas Tim Terpadu Pencegahan Konflik Sosial 2018 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (7/3/2018).
Menteri dari PDI Perjuangan itu menuturkan pihaknya sangat menghormati langkah pencegahan atau penindakan yang dilakukan KPK. Sebab, ia yakin lembaga antirasuah telah memiliki standar operasional prosedur (SOP) sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka.
"Pada prinsipnya antar lembaga menghormati, masing-masig kementerian/lembaga seperti KPK yang sudah mempunyai SOP dan tupoksinya," jelas Tjahjo.
Dalam pertemuannya beberapa waktu lalu, Mendagri mengaku telah bersepakat dengan KPK untuk melakukan fungsi pencegahan dan memberikan supervisi kepada aparatur pemerintahan hingga tingkatan terkecil, agar selalu memahami area rawan korupsi.
"(Area rawan korupsi seperti) perencanaan anggaran, belanja barang dan jasa, indikasi jual beli jabatan. Dalam konteks Pilkada sudah kita bahas sejak dengan DPR, ada Mendagri, Kapolri, Menkum HAM, KPK, bagaimana membangun Pilkada yang bermartabat," tegas dia.
Belakangan ini, KPK memang kerap menangkap banyak kepala daerah yang diduga terindikasi kasus korupsi. Mirisnya, tak sedikit kepala daerah yang ditangkap tangan oleh KPK berkaitan dengan suap untuk pilkada serentak.
Tercatat, sudah ada enam pejabat daerah yang dicokok KPK dalam kegiatan Operasi Tangap Tangan (OTT) pada awal tahun 2018. Pejabat daerah pertama yang tertangkap tangan di awal tahun ini adalah, Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif.
Bupati Hulu Sungai Tengah dicokok KPK setelah diduga menerima uang suap sebesar Rp1 miliar. Uang tersebut berkaitan dengan pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) H. Damanhuri Barabai, Kalimantan Selatan.
Kedua, Bupati Jombang asal Partai Golkar, Nyono Suharli Wihandoko. Dia ditangkap setelah terlibat kasus dugaan suap perizinan dan pengurusan jabatan di wilayah pemerintahannya.