Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Masa Depan Brexit dan Wacana Referendum Jilid II

Opini , Jurnalis-Rabu, 23 Januari 2019 |14:24 WIB
Masa Depan Brexit dan Wacana Referendum Jilid II
Ilustrasi (Foto: Reuters)
A
A
A

PADA beberapa hari yang lalu, tepatnya 15 Januari 2019, proposal perjanjian Brexit yang telah disepakati oleh Inggris Raya dan Uni Eropa ditolak oleh parlemen Inggris. Kekalahan ini merupakan pukulan telak dan kekalahan yang terbesar bagi Perdana Menteri Inggris, Theresa May dengan margin suara yang sangat jauh, 202 suara menyatakan setuju berbanding 432 untuk posisi tidak setuju. Akibatnya, muncul mosi tidak percaya terhadap pemerintahan May dan no-confidence vote yang dilaksanakan pada hari rabu 16 Januari 2019.

Masa Depan May?

Hasil pemungutan suara di parlemen memang sangat mengejutkan bagi kalangan Pro Brexit. Namun, Theresa May tetap bertahan sebagai perdana menteri. Kenyataan bahwa dia bertahan dengan margin suara yang sangat kecil, antara 325 dengan 306 menunjukkan kalau sebenarnya parlemen Inggris sudah sangat skeptis dengan pemerintahan sekarang.

Dalam fakta yang demikian, satu kesimpulan ditemukan bahwa proses untuk keluar dari Uni Eropa sangatlah sulit dan tingkat ketidakpastiaannya sangat tinggi. Walaupun begitu, May tetap berkomitmen untuk menyelesaikan proses keluarnya Inggris bahkan dalam pidato pasca pemungutan suara perjanjian Brexit, Theresa May menyatakan akan mendengarkan saran dan masukan dari seluruh partai yang mengandung “semangat konstruktif”.

Melihat margin kepercayaannya yang kecil, bukankah lebih baik jika dilakukan pemilihan umum? Theresa May memang bertahan, namun hasil menunjukkan bahwa sebagian anggota parlemen tidak lagi begitu berharap dengannya. Lalu, motif apa yang mendasari bagi sebagian lainnya untuk mendukungnya? Apakah sebenarnya para pendukung Brexit tidak memiliki kemampuan untuk menggantikannya sehingga menaruh “harapan” kepada Theresa May agar menyelesaikan serta menghasilkan perjanjian yang menguntungkan bagi para Brexiters?

Pernyataan dari profesor politik Universitas Queen Mary Tim Bale merupakan argumen yang sangat menarik. Dikutip dari Washington Post yang berbunyi “No hard Brexiteer wants to, because they know, in their heart of hearts, it can’t be done and they don’t want to be blamed for it. And anyone else would have to come from a soft Brexit perspective and would end up splitting the party.” Argumen ini menujukkan bahwa perjanjian brexit sangat tidak mungkin untuk dilakukan dan dilimpahkannya tanggung jawab tersebut kepada May setelah kegagalannya yang bersejarah mengarah pada kesimpulan bahwa Brexiters tahu bahwa perjanjian tersebut tidak bisa dilakukan dan mereka hanya “lempar batu sembunyi tangan” dan tidak ingin disalahkan karena itu. 

Wacana Referendum Jilid II

Keberlangsungan terhadap perjanjian Brexit ini menjadi tidak menentu. Muncul wacana untuk melakukan referendum kedua yang digagas oleh Jeremy Corbyn dari partai Buruh. Resiko no-deal Brexit ini membuat para Brexiters ingin melemparkannya kepada publik mengenai apa yang terbaik yang harus dipilih. No-deal Brexit bukanlah prospek yang diharapkan karena akan sia-sia lepas dari Uni Eropa jika tidak ada perjanjian yang dihasilkan. Alasan tersebut jelas, karena para pendukung Brexit ini menginginkan Inggris Raya tetap memiliki hubungan perdagangan yang baik walaupun sudah tidak ada ikatan organisasi terhadap Uni Eropa. Namun, menyerahkan keputusan akhir kepada masyarakat melalui referendum menimbulkan dampak tersendiri dan saat ini opini yang terbentuk di masyarakat beragam.

Opini publik terkait kondisi yang dihadapi beragam. Dilansir dari situs Whatukthings.org, dalam medio 15 Desember 2018 – 17 Januari 2019, masyarakat yang ingin Inggris Raya tetap di Uni Eropa jauh lebih besar dengan margin sebesar 8%-9%. Sedangkan di situs yougov.co.uk, sebanyak 56% masyarakat menginginkan adanya referendum. Jika kedua survey ini digabungkan, ada dua hal yang dapat disimpulkan, yaitu masyarakat mulai ragu apakah keluar merupakan langkah yang tepat atau tidak untuk Inggris Raya dan keputusan untuk keluar hanyalah sebuah bentuk semu tanpa gagasan yang jelas untuk mewujudkan independensi.

Ini mulai meruntuhkan bagaimana wacana yang digulirkan oleh populisme bahwa keluarnya Britania raya akan membuatnya lebih diuntungkan. Meskipun argumen yang digulirkan pada waktu itu bahwa keluarnya Britania raya akan membuat mereka bisa mengelola kebijakannya sendiri terdengar sangat logis, namun, selama 43 tahun Britania Raya bergabung, mereka telah menjelma menjadi satu kekuatan utama di benua biru bersama Jerman dan Prancis dengan London yang membawa daya tarik bagi wisatawan asing dan investor.

Kaum populis tidak mengetahui sulitnya proses untuk keluar dari Uni Eropa. Mereka seakan ingin mengembalikan Inggris pada periode konser Eropa dimana Britania Raya menjadi kekuatan yang begitu besar tanpa ada intervensi pihak luar. Terlebih, selama menjadi anggota, mereka telah melakukan banyak hal serta semakin terintegrasi dengan Uni Eropa. Walaupun Uni Eropa menyediakan mekanisme untuk keluar dari keanggotaan, tetapi nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan ditambah waktu hanya menyisakan tiga bulan lagi.

Populisme diambang kegagalan? 

Melihat hal ini , rasanya tidak mungkin jika kaum populis dan Brexiters tidak berusaha lebih keras untuk mensukseskan rencananya untuk keluar dari Uni Eropa. Gagasan untuk keluar memang digulirkan oleh para penganut populisme ini yang menginginkan adanya independensi untuk mengatur kebijakannya. Bagi mereka, Uni Eropa telah menghilangkan kedaulatan Britania Raya untuk menyelenggarakan pemerintahannya sendiri. Adanya peraturan bersama membuat Inggris raya harus mengadaptasinya dalam peraturan domestik.

Namun, kaum populis mungkin tidak memikirkan gambaran besar dan bagaimana implikasinya terhadap Inggris raya secara utuh. Dengan kata lain, keputusan ini adalah sebuah keegoisan belaka yang hanya berdasarkan perasaan dan emosi semata tanpa pertimbangan rasional yang matang. Kita ingat bahwa fenomena brexit menjadi salah satu turning point bagi perkembangan populisme di negara lain seperti Prancis dan menjadi ‘kiblat’ untuk melakukan hal yang sama. Patut untuk dipikirkan, apa yang akan terjadi jika Brexit gagal dicapai dan Britania tetap terikat dalam konsensus bersama Uni Eropa? Ini bisa berefek domino pada perkembangan populisme di negara lain dan penegasan bahwa interdependensi memang sebuah keniscayaan untuk kemajuan negara terutama ekonomi.

Lalu apa selanjutnya? 

Hari senin 21 Januari 2019 Theresa May mengajukan proposal rencana cadangannya setelah berkonsultasi dengan partai yang ada di parlemen. Rencana ini kemungkinan akan menjadi penentuan terhadap keberlangsungan perjanjian Brexit selama ini. Jika ini berhasil, tentunya masih ada proses negosiasi antara Britania Raya dengan Uni Eropa yang juga tidak dapat dipastikan hasilnya seperti apa. Namun, jika gagal, menurut penelitian akan ada dua skenario yang kemungkinan akan dilakukan.

Pertama, Referendum Jilid II, Referendum ini menjadi suatu aksi yang akan dilakukan oleh Britania Raya. Jeremy Corbyn sebelumnya memang mewacanakan seperti itu, namun masih menunggu bagaimana rencana kedua akan menghasilkan kepuasan di parlemen. Jika tidak, keputusan akan dibalikkan oleh suara rakyat melalui referendum. Meskipun begitu, kita tidak mengetahui secara pasti pilihan yang akan diberikan kepada masyarakat.

Kedua, Meminta waktu tambahan. Aksi ini mungkin merupakan aksi logis yang akan dilakukan oleh pemerintahan Inggris. Dengan tenggat waktu menyisakan tiga bulan dan situasi politik yang sangat panas serta masih belum menemui kesepakatan, perpanjangan waktu mungkin akan diajukan kepada Uni Eropa, namun hanya dalam kondisi tertentu seperti pemilihan umum ataupun referendum. Mereka tidak ingin jika suspensi diajukan tanpa ada hasil yang konkret.

Dapat disimpulkan bahwa parlemen Inggris Raya memiliki peran yang signifikan dalam hal ini. Misalnya rencana cadangan yang digagas oleh Perdana Menteri disetujui pada tanggal 29 Januari 2019, Theresa May harus melakukan negosiasi kembali dengan Uni Eropa yang menunggu dengan cukup sabar terhadap perkembangannya. Hasil akhirnya masih belum bisa diprediksi. Kalaupun tidak disetujui oleh parlemen nanti, referendum jilid II bukan tidak mungkin akan digulirkan dalam waktu dekat.

Oleh: Rizky Ridho Pratomo (Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta) 

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement