SEMARANG – Kecanggihan teknologi informasi belakangan ini justru menjauhkan yang dekat. Anak dan orangtuanya yang tingal dalam satu rumah jarang berinteraksi secara langsung, karena sibuk dengan gadget masing-masing.
“Orangtua pun juga sibuk dengan kerja sendiri, tidak ada waktu. Yang saya lakukan juga main HP, karena orangtua juga main HP (jarang berinteraksi),” kata seorang pelajar SMP di Kabupaten Semarang, Salma kepada Okezone.
(Baca Juga: Orangtua Katup Pengaman Anak dari Efek Negatif Gadget)
Meski demikian, dia mengaku menggunakan gadget hanya untuk keperluan menunjang studi di sekolah dan bukan mengakses konten negatif. Selebihnya adalah memanfaatkan kamera ponsel untuk berswa foto agtau membuat rekaman video.
“Gadget kalau saya ya biasanya buat mencari soal-soal latihan atau membantu ngerjain PR. Selain itu, biasanya kalau buat anak muda yaitu buat foto-foto atau masukin video-video di Youtube atau Instagram. Nanti kalau diliahat banyak orang, banyak yang like, kan bisa hits,” tutur dia.
Perempuan berparas manis itu menambahkan, selalu berhati-hati menggunakan gadget ketika mengakses media sosial. Banyak informasi yang diperoleh, beragam modus kejahatan muncul dari pertemanan di dunia maya.
“Saya pernah menonton salah satu channel Youtube tentang seorang perempuan yang dilecehkan seksual oleh orang lain. Makanya saya selalu berhati-hati tidak mdah meberikan data informasi pribadi kepada orang lain,” kata Salma.
Ilustrasi Anak Bermain Gadget (foto: Taufik Budi/Okezone)
“Saya juga membatasi untuk bermain gadget untuk waktunya. Misalnya Senin sampai Jumat untuk belajar, baru kemudian Sabtu-Minggu bisa main gadget. Keperluannya hanya untuk cari bahan tugas sekolah, kalau enggak ya buat foto-foto lalu di-upload Instagram,” sambung dia.
Sementara Guru Bimbingan Konseling SMPIT Assalamah Ungaran, Nurnanik menyebutkan, interaksi dalam keluarga mesti dibangun dengan komunikasi secara langsung. Anak-anak diajak berdialog bukan melalui pesan singkat atau media sosial.
“Sering sekali kita temukan kasus-kasus seperti itu. Anak yang sudah kecanduan gadget, bahkan menganggap bahwa gadget atau HP atau laptop sebagai teman kedua. Bahkan kalau disuruh memilih antara HP dengan orangtua, akan bingung menjawab. Ini menandakan bahwa gadget atau HP memang luar biasa berperan sangat dalam bagi anak tersebut. Sehingga harusnya menjawab memilih orangtua, dia masih mikir lama,” urai Nurnanik.
“Ini yang sangat kita benar-benar khawatir untuk ke depan. Anak nanti mau jadi apa kalau pola pikirnya seperti itu? Sehingga untuk mengantisipasinya yaitu dengan cara mengawasi, mengontrol, dalam hal penggunaan gadget di rumah ataupun di sekolah,” lanjut dia.
Ilustrasi Anak Bermain Gadget (foto: Taufik Budi/Okezone)
Komunikasi yang tak terjalin harmonis akibat sibuk menggunakan gadget berpotensi menjauhkan ikatan emosional anak dengan orangtua. Selain itu, lemahnya pengawasan orangtua terhadap aktivitas anak saat mengakses gadget juga akan menimbulkan beragam pelanggaran.
“Untuk kasus berkaitan dengan penggunaan gadget atau HP, misalnya ketika lepas kontrol dari orangtua kadang anak menggunakan waktu belajar ternyata digunakan untuk chatting atau janjian dengan pacarnya,” kata dia mengambil contoh.
Dia menambahkan, kerja sama antara pihak sekolah dengan orangtua sangat diperlukan, yaitu melakukan pendekatan saat di rumah, paling tidak orangtua mengontrol anaknya dalam penggunaan gadget.
(Baca Juga: Ajak Anak Main Bola dan Petak Umpet agar Tak Keranjingan Gadget)
"Misalnya penggunaan HP atau laptop yang memang tidak digunakan untuk belajar, harusnya orangtua bisa menyimpan gadget itu dulu. Sehingga waktu yang awalnya kosong bisa digunakan untuk interaksi dengan orangtua,” ucap Nurmanik.
Menurutnya, peran orangtua sangat vital untuk memantau penggunaan gadget anak. Selain mengurangi waktu mereka berlama-lama dengan gadget, juga bisa memanfaatkan waktu untuk menjalin komunikasi yang baik dengan anak-anak.
“Waktu terbanyak adalah di rumah, dengan orangtua. Pengawasan orangtua. Kalau orangtua lengah dalam penggunaan HP dan gadget, tentunya akan berdampak pada anak, baik di sekolah atau di lingkungan. Untuk interaksi, dia cenderung individualisme dan menutup diri dengan temen-temen. Dalam hal ini mestinya anak diajak untuk interaksi, karena dia dalam masa perkembangan,” kata dia mengakhiri pembicaraan.
(Fiddy Anggriawan )