Namun menurutnya penekan dari output Mou Helsinki selain Demokrasi dan Keadilan adalah Kemajuan dan Keberhasilan Aceh pasca perjanjian itu ditandatangani.
“Coba kita lihat dalam perjanjian MoU Helsinki bahwa dinyatakan Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan, hal tersebut merupakan sebuah kondisi perubahan signifikan yang harus dirasakan di Aceh saat ini,” tegasnya.
Menurutnya pernyataan Muzakir Manaf atau dikenal Mualem menunjukkan begitu kekecewaan seorang Muzakir Manaf terhadap kondisi Aceh saat ini yang merasakan bahwa Aceh jauh dari kemajuan dan keberhasilan.
Disisi lain, kunci perjanjian ini dijelaskan oleh Fachrul Razi adalah “trust building” yaitu membangun kepercayaan. Sebagaimana tertulis dalam MoU Helsinki bahwa “Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya.”
“Nah, jika salah satu pihak sudah mengalami kekurangan percayaan (distrust), ini menunjukkan bahwa muncul kekecewaan terhadap proses dan keadaan sekarang,” tegas Fachrul Razi.
“Nah kalau ada yang tanya apakah MoU Helsinki memberikan ruang adanya referendum, silahkan baca poin 6.1.c,” tegas Fachrul Razi memberikan solusi.