NEW YORK - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengatakan pandemi virus corona bisa memberikan alasan kepada sejumlah pemerintah di dunia untuk mengambil langkah-langkah represif untuk menekan penyebaran virus corona,
Namun langkah-itu, menurut Gutteres berisiko menjadi krisis hak asasi manusia (HAM).
Dalam laporan yang dirilis, Kamis (23/4/2020) Guterres menyoroti bagaimana hak asasi manusia harus memandu respons dan pemulihan terhadap krisis kesehatan, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi dunia.
Menurut data Universitas Johns Hopkins, virus corona, yang menyebabkan penyakit pernapasan COVID-19, telah menginfeksi lebih dari 2,6 juta orang di seluruh dunia, dan menyebakan 183.120 meninggal. Virus ini pertama kali muncul di kota Wuhan, China pada Desember 2019.
"Kami melihat efek yang tidak proporsional pada komunitas tertentu, meningkatnya kebencian, penargetan kelompok-kelompok rentan, dan risiko tanggapan keamanan yang tidak wajar merusak respons kesehatan," kata Guterres.
Laporan PBB mengatakan migran, pengungsi dan pengungsi internal sangat rentan. Dikatakan lebih dari 131 negara telah menutup perbatasan mereka, hanya 30 negara yang mengizinkan pengecualian bagi para pencari suaka.
"Terhadap latar belakang meningkatnya etno-nasionalisme, populisme, otoritarianisme, dan penolakan terhadap hak asasi manusia di beberapa negara, krisis dapat memberikan dalih untuk mengambil langkah-langkah represif yang tidak terkait dengan pandemi," katanya.
"Ini tidak bisa diterima."
PBB tidak memberikan contoh spesifik tentang tindakan tersebut.
Laporan pelanggaran
Di China, orang-orang yang berbicara tentang wabah virus corona, termasuk dokter, telah diperiksa oleh polisi dan ditahan secara sewenang-wenang.
Pemimpin Kamboja Hun Sen juga dituduh mengeksploitasi virus corona untuk mengakumulasi lebih banyak kekuatan, menindak perbedaan pendapat.
Amnesty International merilis laporan yang mengatakan pemerintah di Thailand, menuntut pengguna media sosial yang mengkritik pemerintah atau kerajaan dan menghapus segala bentuk perbedaan pendapat.
"Melalui pelecehan dan penuntutan terhadap para pencela daringnya, pemerintah Thailand telah menciptakan iklim ketakutan yang dirancang untuk membungkam mereka yang memiliki pandangan berbeda," kata Clare Algar, direktur senior penelitian, advokasi dan kebijakan Amnesty International.