Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Benteng Vredeburg, dari Upaya Melindungi Kraton Yogyakarta hingga Saksi Pelecehan Pangeran Diponegoro

Agregasi KR Jogja , Jurnalis-Minggu, 14 Februari 2021 |11:43 WIB
Benteng Vredeburg, dari Upaya Melindungi Kraton Yogyakarta hingga Saksi Pelecehan Pangeran Diponegoro
Benteng Vredeberg.(Foto:KR Yogkayarta)
A
A
A

YOGYAKARTA - Benteng Vredeburg yang berlokasi di jantung kota Yogyakarta, dulunya bernama Rustenburg. Pada tahun 1760, Residen Cohen Donkel membangun benteng tersebut atas izin Sri Sultan HB I. Proyek pembangunan berlangsung kurang lebih 25 tahun dan selesai pada 1785.

Direktur Pengolahan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Agus Santoso mengatakan, pembangunan Benteng Rustenburg bertujuan sebagai benteng pertahanan yang bertugas melindungi kompleks Keraton Yogyakarta dari serangan musuh.

“Benteng Rustenburg untuk pertahanan pada saat itu setelah diresmikan, ditempatkan kurang lebih 100 orang pasukan VOC yang dipimpin seorang kapten. Tugas mereka melindungi kompleks Keraton dari musuh. (Tapi) lebih banyak dimanfaatkan untuk melindungi kepentingan VOC di Yogyakarta,” paparnya pada seminar dari Menggali Kisah di Balik Kemegahan Benteng Vredeburg Yogyakarta, Rabu (10/2/2021).

Baca Juga: Kuatnya Komitmen Keraton Yogyakarta Saat Penyebaran Islam di Tanah Air

Benteng awal berbentuk persegi empat dengan empat penjuru. Benteng juga berfungsi sebagai tempat tinggal pimpinan pemerintahan VOC di Yogyakarta. Di samping benteng dibangun kompleks pemukiman untuk orang Eropa dengan istilah Loji Kidul.

Baca Juga: Dipecat dari Keraton DIY, Adik Sultan HB X Ngaku Digaji Rp75 Ribu Perbulan

Benteng juga dikelilingi parit yang berfungsi untuk mencegah musuh yang datang dan pada setiap sudut ditempatkan meriam.

Pada arsip ANRI, Java NOK No 395, mencatat secara resmi dan rinci terkait daftar senjata dan amunisi yang dipergunakan sebagai penangkal serangan musuh orang Eropa dan pertahanan negara. Hal ini juga memperlihatkan situasi yang terjadi di pesisir Jawa.

“Setiap sudut benteng ditempatkan meriam. Di mana jangkauan tembak tepat di lingkungan Keraton. Saya kira pembangunan bukan semata-mata kepentingan Jogja tapi kepentingan VOC yang saya kira sudah bisa dibaca sejak awal walaupun sekarang jadi bangunan monumentan,” jelas Agus.

Dalam perkembangannya, pada masa Gubernur Jenderal Deandles (1808-1811), benteng tidak boleh digunakan sebagai tempat tinggal sehingga dilakukan pembangunan rumah untuk minister di depan Benteng Rustenburg yang sekarang Gedung Agung Yogyakarta. Bertujuan untuk menginap apabila Gubernur Jenderal berkunjung ke Yogyakarta dengan pasukan pengamanan ditempatkan disekitar Benteng.

“Benteng Rustenburg berubah nama menjadi Vredeburg artinya benteng perdamaian, yang merubah Daendles,” imbuhnya.

Setelah berakhirnya masa kolonial Belanda, Benteng Vredeburg diambil alih oleh tentara Nasional Indonesia pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebelumnya pada masa agresi militer belanda II pada 19 Desember 1948, Benteng dijadikan markas militer Republik Indonesia. Benteng juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap.

Sementara itu, Sejarawan Peter Carey mengatakan ada dua peristiwa bersejarah dan mencekam di Benteng Vredeburg dari awal abad ke-19 yakni serangan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812 dan penghinaan terhadap Pangeran Diponegoro di muka umum pada 21 Mei 1825.

“Teka-teki yang terjadi di dalam Vredeburg pada jaman Inggris dan menjelang perang Jawa. (Vredeburg) bukan cuma tempat militer tapi saksi bisu peristiwa politik menarik,” ujarnya.

Carey mengatakan pasukan Inggris di bawah komando Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menyerbu Keraton Yogyakarta pada pagi buta dengan pasukan berjumlah 1.200 orang dan berkumpul di dalam Benteng sebelum hari penyerbuan. Pasukan berkumpul di Benteng secara bertahap agar tidak menimbulkan kecurigaan dari Sri Sultan HB II.

“Pada saat serangan Inggris ke Keraton Yogyakarta, Benteng Vredeburg menjadi markas tentara dan tempat artileri dipakai untuk memborbadir Keraton,” ungkapnya.

Sementara itu, Benteng Vredeburg juga menjadi saksi atas penghinaan terhadap Pangeran Diponegoro oleh pejabat Belanda yang datang kembali ke Yogyakarta. Hal ini yang kemudian disebut sebagai salah satu pemicu awal mula pecahnya perang Jawa. Kejadian tersebut terjadi sekitar tanggal 21 Mei 1825.

Residen Anthonie Hendrik Smissaert yang menjabat sebagai residen sebelum perang Jawa itu bersekongkol dengan Patih Danurejo IV yang korup dan Komandan Pasukan Kraton yakni Mayor Wironegoro untuk meremehkan Pangeran Diponegoro. “Mereka meremehkan pribadi Diponegoro,” imbuhnya.

Carey menceritakan pejabat Belanda itu juga secara sengaja mencari jalan untuk bersikap kasar terhadap Pangeran Diponegoro dengan mencibir dan menyindir pangeran adalah seorang ‘edan’, seorang ‘imam’ dan ‘pria yang kasar’ saat seluruh pangeran diundang ke Vredeburg untuk menghadiri sebuah pesta.

Smissaert juga tidak menunjukkan sopan santun dengan tidak menyebut Pangeran dengan gelar kehormatannya ‘Kanjeng Gusti’ sebagaimana yang lazim dilakukan.

“Jadi benteng Vredeburg menjadi saksi bisu dan merosotnya hubungan Belanda dan Diponegoro menjelang pecahnya perang Jawa,” imbuhnya.

(Sazili Mustofa)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement