YANGON – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan militer Myanmar akan menghadapi "konsekuensi berat" bila terjadi penekanan brutal terhadap demonstran anti-kudeta.
Utusan khusus PBB, Christine Schraner Burgener mengatakan "hak untuk berkumpul secara damai harus dihargai."
Juru bicara PBB mengatakan peringatan Schraner Burgener itu ia katakan dalam percakapan telpon dengan Wakil Kepala Junta Soe Win.
Utusan khusus PBB itu menekankan pemblokiran internet "merongrong prinsip dasar demokrasi".
Sementara itu, akses internet di Myanmar dilaporkan telah dipulihkan pada Selasa (06/02) pagi setelah terputus selama dua malam.
Junta militer secara reguler memblok internet untuk meredam demonstrasi sejak melakukan kudeta pada 1 Februari lalu.
Sebelum jaringan internet dipulihkan, sebuah organisasi pemantau yang berbasis di Inggris, NetBlocks, melaporkan "internet hampir secara total mati" dari 01:00 waktu setempat pada Selasa (16/02).
Ini adalah pemblokiran internet yang keempat sejak kudeta 1 Februari lalu, ketika junta mencoba untuk menahan perbedaan pendapat, sebagian besar di antaranya yang berlangsung di internet.
(Baca juga: Serangan terhadap Warga Keturunan Asia Melonjak, Ratusan Warga AS Protes)
Tanda-tanda bahwa layanan internet akan segera dimatikan lagi muncul setelah penyedia layanan internet mengatakan kepada BBC Burma bahwa akses internet diblokir.
Pemblokiran internet yang terbaru mengikuti pola yang ditujukan untuk mengganggu penentangan yang terus berlanjut terhadap kudeta, yang menggulingkan para pemimpin terpilih, termasuk juru kampanye demokrasi, Aung San Suu Kyi, yang masih berada dalam tahanan.
Akses ke Facebook, tempat berkumpulnya gerakan pembangkangan sipil, dibatasi segera setelah kudeta dua minggu lalu. Penggunaan Twitter dan Instagram juga terganggu.
Penyedia telekomunikasi utama Telenor mengatakan tidak akan lagi memperbarui daftar gangguan internet di situsnya. Ia mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa situasinya "membingungkan dan tidak jelas" dan mengatakan bahwa keselamatan karyawan adalah "prioritas utama".
Protes besar masih terus berlanjut setelah junta menggulingkan pemimpin terpiih, termasuk Aung San Suu Kyi, karena apa yang mereka sebut kecurangan dalam pemilu.
Militer tidak memberikan bukti apapun terkait tuduhan ini.
Para pengunjuk rasa kembali turun ke jalan Selasa (16/02) pagi di sejumlah kota seperti Yangon dan Mandalay.
BBC Myanmar melaporkan para biku ikut turun ke jalan di Yangon dalam aksi yang berjalan damai.
Di luar kota, para demonstran berbaring di atas rel kereta dalam upaya mengganggu jaringan.
Menurut kantor berita Reuters, jaringan kereta antara Yangon dan kota Mawlamyine terganggu akibat aksi ini.
Militer juga telah mengumumkan sanksi berat bagi mereka yang menentang para pemimpin kudeta dengan mengatakan mereka yang menganggu pihak keamanan menjalankan tugas dapat menghadapi ancaman penjara maksimal 20 tahun. Sementara mereka yang diketahui memicu kerusuhan dapat dipenjara antara tiga sampai tujuh tahun.
Sebelumnya, otoritas militer mengumumkan hukuman keras bagi mereka yang menentang kepemimpinannya.
Kehadiran militer dilaporkan menguat. Di banyak lokasi strategis, tentara menggantikan polisi.
Di kota utama, Yangon, kendaraan lapis baja beroda delapan terlihat melintasi jalanan di jam-jam sibuk. Terkadang kendaraan tersebut dikelilingi oleh mobil-mobil yang menyampaikan penentangan terhadap kudeta dengan membunyikan klakson.
Sejumlah protes dipusatkan pada gedung bank sentral, kedutaan besar AS dan China, dan markas besar Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.
Ketika para demonstran berkumpul lagi di pusat kota Mandalay pada hari Senin (15/02), sejumlah laporan mengungkap pasukan keamanan menembakkan peluru karet untuk membubarkan massa.
Dalam rekaman yang diunggah di media sosial, terdengar suara yang tampak seperti tembakan saat kerumunan melarikan diri, dan beberapa orang kemudian terlihat mengalami luka-luka.
Seorang aktivis mahasiswa terkemuka yang telah bersembunyi, Myo Ko Ko, mengatakan kepada BBC mengapa dia dan sejumlah orang lainnya bersedia mempertaruhkan nyawa mereka.
"Kami sangat percaya pada demokrasi dan hak asasi manusia. Kami tahu itu berisiko," katanya.
"Saya harus pindah ke tempat lain hari demi hari karena razia polisi. Kami berharap masyarakat internasional membantu kami."
Para mahasiswa juga menjalankan protes di ibu kota, Nay Pyi Taw. Puluhan ditangkap dan kemudian dibebaskan.
Sejumlah penduduk di beberapa kota dilaporkan telah membentuk kelompok jaga malam untuk mencegah gerombolan yang dikabarkan telah dikirim oleh militer untuk menimbulkan kerusuhan.
Ribuan tahanan telah diberikan amnesti. Meskipun hal ini normal untuk menangani penjara yang terlalu padat, ada kekhawatiran bahwa militer akan menggunakan beberapa dari mereka yang dibebaskan untuk menekan siapa pun yang menentang rezim.
(Susi Susanti)