Menyusul kudeta, kelompok-kelompok advokasi telah menyerukan sanksi terhadap militer dan aksesnya pada sistem keuangan global.
Banyak aktivis juga ingin konglomerat militer dibubarkan.
Dalam pernyataan kepada BBC, Justice for Myanmar menuduh militer berada dalam "konflik kepentingan yang melanggar hukum".
"Harta yang dicuri oleh militer dan bisnis mereka adalah milik rakyat Myanmar dan harus dikembalikan kepada mereka," imbuhnya.
Amerika Serikat (AS) telah memberlakukan sanksi baru terhadap militer dan beberapa sosok pemerintahan, bersama tiga perusahaan tambang. Kanada, Selandia Baru, dan Inggris juga telah memberlakukan kebijakan mereka sendiri, namun demikian belum ada negara yang secara langsung berfokus pada konglomerat.
Para pegiat berpendapat jika sanksi yang lemah di masa lalu telah memungkinkan Tatmadaw untuk melakukan kudeta dan melanjutkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Namun para pakar mengatakan kepada BBC ada keinginan kuat untuk menambah sanksi - pada waktu yang tepat.
"Dunia masih menunggu untuk melihat apa yang terjadi," kata George McLeod, direktur manajemen Access Asia, perusahan manajemen risiko yang berspesialisasi di wilayah itu.
"Dari yang saya dengar dari orang dalam, Norwegia sedang mencoba untuk melakukan semacam upaya awal untuk mewujudkan solusi lewat negosiasi,” lanjutnya.
Sementara itu, timbul kekesalan yang semakin besar di kalangan pengusaha lokal tentang kekuatan konglomerat.
"Mereka menggambarkannya dengan cara yang hampir sama dengan seorang pemilik bisnis di Sisilia berbicara tentang Mafia," kata McLeod kepada BBC.
"Anda harus berurusan dengan mereka jika Anda masuk radar mereka. Tapi Anda tidak mau,” ujarnya.