 
                Satu hal lagi yang Soeharto kenang mengenai hidup di rumah Pak Kiai Darjatmo ialah sewaktu dirinya diizinkan membantunya dalam membuat catatan (resep) obat-obatan tradisional yang diberikan sewaktu mengobati orang sakit. Nama obat-obatan yang ganjil, ramuan yang aneh, tanaman-tanaman yang langka dan yang banyak terdapat di tengah kampung serta peringatan-peringatan saya tuliskan untuk orang yang sakit, yang kadang-kadang dia kerjakan hingga larut malam.
Maka dirinya mengenal pelbagai macam daun-daunan, akar-akaran, pohon-pohonan, rerumputan. Memang Pak Darjatmo itu suka memberikan petunjuk apa yang mesti dimakan atau dioleskan dan apa larangan-larangannya.
Bermacam orang datang minta tolong kepada Pak Darjatmo, dari mulai yang sakit kulit, sakit panas sampai kepada yang mempersoalkan perkawinan dan perceraian, yang mendambakan anak, kesulitan dalam berdagang, urusan dengan penguasa, yang merasa kemasukan setan, yang tertimpa oleh pemerasan orang ketiga, dan macam-macam lagi. Dan dia tahu dari dekat bahwa memang banyak di antara mereka yang meminta tolong itu, kemudian sembuh setelah mengikuti petunjuk Pak Darjatmo.
Pada suatu waktu, berakhir juga hubungan Soeharto dengan Pak Darjatmo. Soeharto kembali ke kampung asal, ke Kemusuk. Dan dari sana Soeharto pergi setiap hari ke Yogya, naik sepeda, untuk menyelesaikan pelajaran di sekolah Muhammadiyah.
Soeharto terpaksa meninggalkan Wonogiri dan langgar Kiai Darjatmo gara-gara peraturan sekolah yang mengharuskan murid pakai celana pendek dan bersepatu, sedang orang tuanya tak mampu membelikan.
Di Yogya, walaupun di kota, Soeharto bersekolah pakai sarung atau kain, dan tidak bersepatu. Namun dirinya tidak merasa kikuk, karena saya tidak seorang diri yang demikian. Masih ada sejumlah murid lagi yang datang ke sekolah dengan kondisi seperti dirinya.
(Khafid Mardiyansyah)