SRI SULTAN telah berusaha membujuk Panglima Besar untuk kembali ke Yogya, demikian pula Kolonel Gatot Soebroto. Gubernur Militer III, perwira yang disegani oleh Pak Dirman, telah mengirim surat kepada Panglima Besar kita itu, tetapi tak ada reaksi yang tegas dari Pak Dirman.
Akhirnya, Soeharto diserahi tugas oleh Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Koordinator untuk menjemput Pak Dirman. Sebenarnya, Soeharto bukan seorang perwira yang terhitung dekat kepada Jenderal Soedirman. Soeharto bertemu dengan beliau pada saatsaat penting saja. Tetapi, toh keganjilan terjadi.
Pada waktu itu, Pak Soedirman berada di Karangmojo, bukan di Pathuk. Soeharto pergi ke sana naik kuda, karena jalan ke sana sudah hancur. Dia melewati Piyungan, terus Pathuk, terus menuju ke Kecamatan Karangmojo. Ikut serta dengan Soeharto waktu itu dr. Irsan, dokter Brigade X dan Bung Rosihan Anwar, satu-satunya wartawan.
Baca Juga: Kisah Soeharto Ditangkap Tentara karena Disangka Simpatisan PKI
Waktu Soeharto menemukannya, tentunya dia terharu. Suasana itu, begitu memikat dan terjadi setelah mereka mampu menghalau Belanda.
Dan beliau bertanya, “Bagaimana kamu, Harto?” Sambutan pendek dari seorang Bapak yang kita hormati, di tengah suasana demikian, meresap mengharukan.
Soeharto dengan tegas menjawab, “Tentara tetap di belakang Panglima Besar”.
Lalu kami mengadakan pembicaraan, malahan mirip seperti sebuah diskusi, yaitu memikirkan apa dan mana yang lebih penting.
"Pak Dirman tidaklah menolak sama sekali untuk turun ke Yogya waktu itu. Tetapi beliau mempunyai pertimbangan, mana yang baik pengaruhnya kepada perjuangan. Beliau ingat bahwa sebagian besar rakyat masih berjuang di luar kota," demikian penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982.
Pak Dirman mengeluarkan isi hatinya kepada Soeharto dan mempertanyakan apa pengaruhnya terhadap perjuangan, kalau beliau turun ke Yogya sementara anak buah masih banyak yang di luar.
“Masakan saya meninggalkan mereka dengan masuk ke Yogya,” katanya. “Apa pikiranmu, Harto ?” tanyanya.
Soeharto mempunyai pikiran lain. Menjawab pertanyaan Pak Dirman itu saya memberikan argumentasi. Pertama, bahwa Yogya itu sekarang sudah menjadi wilayah kita lagi. Yogya sudah menjadi pusat pemerintahan RI lagi. Dengan itu berarti, kita kembali ke tempat di mana kita bisa memimpin perjuangan kita.
Dengan itu berarti, kembalinya Yogya kepada kita harus kita gunakan untuk konsolidasi perjuangan kita, sampai Belanda benar-benar pergi dari bumi Indonesia.
Di samping itu, Soeharto katakan kepada Pak Dirman, “Bapak masih mempunyai kewajiban untuk memimpin perjuangan kita ini.” Sementara itu nampak sekali fisik Pak Dirman dalam keadaan Iemah dan sakit. Oleh karena itu, saya pikir, kembalinya kita ke Yogya harus kita pergunakan untuk memulihkan kesehatan Panglima Besar kita.
Mendengar Soeharto bicara begitu, akhirnya Pak Dirman bersedia berangkat. Artinya, pikiran Soeharto bisa diterimanya. Maka berangkatlah Pak Dirman dalam keadaan ditandu. Sementara itu di Yogya penyambutan sudah Soeharto siapkan.
(Sazili Mustofa)