Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Sawunggaling Sulit Dibunuh, Kompeni Murka dan Rakyat Surabaya Digilas

Solichan Arif , Jurnalis-Senin, 26 Juli 2021 |07:35 WIB
Sawunggaling Sulit Dibunuh, Kompeni Murka dan Rakyat Surabaya Digilas
Ilustrasi (Foto : Istimewa)
A
A
A

TIDAK seperti ayahnya, Adipati Jayengrana yang berhasil diracuni, dan saat tak berdaya dihabisi beramai-ramai oleh kaki tangan Kompeni Belanda. Adipati Sawunggaling lebih sulit dibunuh. Sejak berangkat dan tiba di Kraton Kartasura, Adipati Surabaya tersebut sudah menyiapkan kewaspadaan tinggi. Ia tahu, ayahnya terbunuh karena dicurangi. Dicekoki anggur bercampur racun arsenik.

Sebelum meregang nyawa, Sawungsari (Kakak Sawunggaling lain ibu) yang turut menjadi korban dalam tragedi tersebut, menceritakan semuanya. Dalam keadaan setengah sekarat, Jayengrana dikeroyok. Tubuhnya dihujami berbagai senjata tajam hingga tewas. Peristiwa berdarah itu berlangsung Juli 1718. Karenanya, saat menerima uluran sloki berisi anggur dari Van Hoogendorf, petinggi VOC untuk wilayah Jawa bagian Timur, Sawunggaling tidak buru-buru meneguknya.

Cerita itu kembali melintasi benaknya. Di tangannya. Sloki berisi anggur itu, hanya ia goyang-goyang. "Para hadirin sekalian. Mari kita minum bersama demi kesuksesan hidup Adipati Sawunggaling," ucap Van Hoogendorf seperti diceritakan Febricus Indri dalam kisah "Sawunggaling Sebuah Legenda Surabaya". Di tangan orang-orang di dalam Kraton Kartasura. Semua sloki berisi minuman keras diangkat tinggi-tinggi sekaligus berseru : "Hidup Adipati Sawunggaling. Semoga sukses dan panjang umur".

Saat itu bulan Januari 1719. Pesta yang digelar di Kraton Kartasura hanyalah akal-akalan Kompeni Belanda. Melalui Susuhunan Pakubuwono I, Van Hoogendorf meminta Raja Kartasura tersebut mengundang Sawunggaling untuk datang. Itu setelah Cakraningrat III, penguasa Bangkalan Madura yang dianggap pemberontak, berhasil ditaklukkan. Kompeni Belanda berkepentingan menghabisi Sawunggaling dengan mengulangi cara licik.

Dendam Van Hoogendorf sulit padam. Sejak masa Adipati Jayengrana, penguasa Kadipaten Surabaya tersebut diketahui diam-diam bersimpati dengan gerakan Untung Surapati. Perintah Kompeni melalui Raja Pakubuwono I membasmi gerakan Surapati beserta keturunannya, tidak pernah serius dilakukan. Sikap membangkang itu dilanjutkan Adipati Sawunggaling, putra bungsu Jayengrana. Kemarahan Hoogebdrof semakin berlipat setelah tahu Benteng Providencia atau Benteng Miring juga dikuasai Sawunggaling.

Baca Juga : Prinsip Kerja Soeharto: Harus Segera Selesai, Segera Tuntas!

Sawunggaling lahir dari rahim Rara Blengoh. Seorang perempuan, anak Kepala Desa Lidah Wetan (Sekarang Kecamatan Lakarsantri) yang bernama Wangsadrana. Setelah dinikahi Jayengrana yang berstatus duda lima anak, Rara Blengoh menyandang gelar Raden Ayu Sangkrah. Sejak lahir Sawunggaling dikenal bernama Jaka Berek. Ia tumbuh bersama ibu dan kakeknya di Desa Lidah Wetan dengan status ayah yang dirahasiakan.

Sejak kecil, Berek yang banyak belajar kanuragan dan dianggap memiliki kelebihan, gemar menyabung ayam dan tak pernah kalah. Ia memiara seekor ayam jago andalan yang diberi nama Galing. Saat mulai tumbuh dewasa dan akhirnya berhasil menemui ayahnya di Kadipaten Surabaya, nama Jaka Berek diubah menjadi Sawunggaling. Sebagai putra Adipati Surabaya yang masyhur, Sawunggaling lebih bisa membawa diri dibanding lima kakak tirinya. Nasib baik juga senantiasa berpihak kepadanya.

Sawunggaling berhasil memenangkan sebuah sayembara dengan hadiah diambil menantu Raja Pakubuwono I. Saat Adipati Jayengrana mangkat karena dibunuh secara licik oleh Kompeni Belanda, ia juga yang ditunjuk menggantikan jabatan Adipati Surabaya. Begitu juga saat di pesta yang disiapkan Kompeni Belanda untuk menghabisinya. Di ruangan komplek Kraton Kartasura. Sawunggaling hadir bersama Arya Suradireja, tangan kanannya.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement