MASYARAKAT Majapahit khususnya Trowulan, mempunyai kecerdasan yang cukup tinggi dalam memanfaatkan kondisi alam sekitar. Trowulan sebagai pusat kerajaan berada di daerah pedalaman, namun memiliki akses ke luar melalui jalur-jalur air, dengan memanfaatkan air sungai yang kemudian dikembangkan dengan pembangunan kanal sebagai perpanjangan dari sungai-sungai alam.
Dalam kitab Nagarakretagama disebutkan bahwa barang-barang yang akan dibawa ke Majapahit dari daerah luar diturunkan di pelabuhan besar, kemudian diangkut dengan mengunakan kapal-kapal kecil melalui sungai dan kanal. Tampak di sini bahwa pemanfaatan transportasi air dimaksimalkan.
Baca juga: Mahapatih Gajah Mada Pilih Bertapa Usai Lepas Jabatan di Majapahit
Sungai Brantas sebagai penghubung utama antara daerah pesisir dengan pedalaman telah memberi kontribusi positif terhadap perkembangan peradaban pada masa Majapahit. Keberadaan sungai dan pelabuhan selain digunakan sebagai pendukung faktor ekonomi juga digunakan sebagai jalur diplomasi, politik, penyebaran agama, dan kebudayaan. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kota Trowulan. Demikian diungkap buku "Majapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota", Penerbit Kepel Press, 2014.
Baca juga: Cerita Majapahit Serang Lumajang Demi Air di Ranu Klakah
Dalam prasasti Canggu atau prasasti Trowulan I disebutkan bahwa terdapat 44 desa penyeberangan di tepi Sungai Brantas. Adanya desa-desa penyeberangan tersebut kemudian berkembang menjadi pelabuhan sungai yang besar seperti Canggu, Bubat, dan Terung (Rangkuti, 2005).