Kata Kent, ada tiga aspek yang mempengaruhi banjir di DKI Jakarta yaitu pertama hujan di hulu yang mengakibatkan banjir kiriman, kedua hujan di atas Jakarta (Hujan Lokal), dan ketiga kondisi air laut pasang naik, yang menyebabkan aliran sungai tidak bisa masuk ke laut. Poin pertama dan kedua adalah fenomena meteorologi dan poin ketiga adalah fenomena astronomi.
"Yang berbahaya adalah jika ketiga fenomena tersebut terjadi dalam waktu yang bersamaan, akibatnya yah banjir besar seperti yang terjadi pada awal tahun 2020 lalu, drainase di DKI Jakarta hanya bisa menampung 100-150 mm perhari, tetapi yang terjadi pada awal Januari 2020 curah hujan yang turun 377m m perhari, sehingga drainase kita tidak mampu untuk menampung air hujan sehingga tumpah ke jalan dan mengakibatkan banjir. bisa dibayangkan jikalau kita sibuk hanya memikirkan Infrastruktur saja, tetapi kita tidak siap secara teknologi. Intinya kalau kita siap secara teknologi, kita akan mampu menghitung berapa curah hujan yang akan turun perharinya dan bisa disandingkan dengan kesiapan volume drainase kita. Kita mau menanggulangi banjir ini tidak cukup hanya dalam konsep pembangunan infrastruktur saja, data itu penting jadi saat kita berbicara tidak terkesan asbun (asal bunyi)," ketus Ketua IKAL (Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas RI) PPRA Angkatan LXII itu.
Baca juga: Antisipasi Banjir, Pemprov DKI Targetkan 154 Meter Kubik Lumpur Dapat Terangkat dari Kali Mookevart
Kent juga mengkritisi statemen Gubenur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Riza Patria, yang menyebut DKI telah mempersiapkan lokasi pengungsian untuk penanganan banjir, yang terkesan pasrah dan kehabisan akal.
”Kok terkesan pasrah ya. Apa tidak ada strategi lain atau sudah kehabisan akal untuk menekan dampak banjir selain hanya menyiapkan tempat pengungsian saja? Kalau berbicara seperti itu, berarti sama saja mengangkat bendera putih dong. Maka itu saya sarankan, benahi saja upaya deteksi dininya, supaya kita semua tidak keteteran lagi, jangan pakai ombrometer manual lagi, ombrometer mempunyai banyak kelemahan, salah satunya adalah frekwensi pengamatannya tidak akan intens dan jarang, seharusnya menghitung curah hujan permenit tetapi dengan ombrometer ini bisa 1 atau 2 kali perhari, kemudian karena pola pengamatannya manual, maka resiko salah baca juga tinggi, sehingga data yang di dapat akan kurang akurat. Pola menghitung curah hujan dengan ombrometer ini masih menggunakan gelas plastik, masa jaman sekarang ngukur curah hujan masih pake gelas plastik,” beber Kent.