"Masih ada variabel yang tidak kalah penting, yaitu iklim dunia usaha dan dunia industri itu sendiri. Kalau sektor manufaktur di Indonesia atau khususnya Jatim melemah, tentu tenaga terdidik terampil juga tidak terserap," ujarnya.
Apalagi, sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia masih menempati urutan ke-10 ranking nilai tambah industri manufaktur.
"Masih di bawah China, Amerika, Jepang, Jerman, India dan Korea Selatan serta Italia, Perancis dan Brazil," terang LaNyalla.
Sementara untuk iklim dunia usaha terbaik, masih didominasi negara-negara di Eropa, dengan Jerman sebagai pemimpin. Sedangkan di luar Eropa, masih tetap didominasi Amerika Serikat dan Jepang.
"Artinya, peluang output dari program pendidikan vokasi, tidak hanya diarahkan untuk kebutuhan dalam negari, tetapi juga harus diorientasikan untuk menjadi tenaga terampil di luar negeri," beber LaNyalla.
LaNyalla yang baru kembali dari kunjungan kerja ke Arab Saudi, mengatakan terbuka peluang sekitar 8 juta tenaga terampil dan profesional untuk bekerja di Arab Saudi, dan diutamakan tenaga kerja Muslim. "Ini tentu peluang bagi Indonesia," tegas LaNyalla.
Sebab, orientasi tenaga kerja ke luar negeri sudah dilakukan oleh negara-negara dengan jumlah penduduk besar, seperti Amerika Serikat, China dan India.
"Mereka sudah lebih dulu menyiapkan tenaga kerjanya untuk ekspansi ke luar negaranya. Di Indonesia, tidak terhitung banyaknya tenaga profesional dari negara-negara tersebut. Bahkan China sekarang sudah memasukkan tenaga non-profesional melalui program-program turn key project mereka di beberapa negara, di Asia dan Afrika," imbuhnya.
Selain hal itu, yang perlu menjadi perhatian semua pihak adalah orientasi Indonesia ke depan harus jelas.
"Kita akan menjadi negara dengan kekuatan atau positioning di mana. Saya meyakini, Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan menjadi sentral dunia, apabila kita mengoptimalkan keunggulan komparatif yang kita miliki, yakni sektor pangan yang terdiri dari pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan," katanya.
Lalu juga keanekaragaman hayati hutan dan pariwisata, selain sumber daya alam mineral dan gas yang akan menjadi kekuatan ekonomi bangsa ini.
Oleh karenanya, LaNyalla menilai Indonesia masa depan harus menjadi negara yang menjadi dan menjamin harapan hidup penduduk bumi, melalui lumbung pangan dan air, serta oksigen untuk paru-paru dunia.
"Road-map ini tentu membutuhkan leadership yang kuat dan berani untuk melakukan koreksi atas arah kebijakan ekonomi nasional. Melakukan koreksi atas mazhab ekonomi yang kita anut selama ini," demikian LaNyalla.
(Fakhrizal Fakhri )