MALANG - Universitas Brawijaya (UB) merasa 'kecolongan' dengan diamankannya satu mahasiswanya oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri. Pasalnya mahasiswa berinisial IA ini diduga kuat terafiliasi ISIS dan merupakan anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Wakil Rektor (Warek) III Universitas Brawijaya Prof. Abdul Hakim mengatakan, sebenarnya pendidikan anti radikalisme telah diajarkan sejak lama di kampus UB. Pemahaman anti radikalisme ini bahkan terdapat banyak item indikator yakni mental kebangsaan, guna mencegah paham radikal, yang harus dilakukan mahasiswa baru (Maba) saat bergabung ke UB.
"Yang bersangkutan masuk 2019, di 2019 tidaklah terprogram resmi di agenda nasional, yang disebut Simkatmawa sistem informasi manajemen pemeringkatan kemahasiswaan, yang salah satu indikatornya dari 100 indikator melaksanakan program pembinaan mental kebangsaan," ucap Abdul Hakim, kepada wartawan di Gedung Rektorat UB, pada Rabu siang (25/5/2022).
Bahkan sejak 2020 lalu Universitas Brawijaya telah melaksanakan pendidikan anti radikalisme yang diterapkan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT). Hal ini mengantisipasi mudahnya paham-paham radikal tersebar di lingkungan kampus kepada mahasiswa baru.
"Sejak tahun 2020 kita secara rutin melaksanakan kegiatan atau pendidikan anti radikalisme ini. Kami juga mengundang secara rutin dari BNPT, untuk memberikan ceramah kepada Maba, tahun ini pun kegiatan serupa akan kita laksanakan baik di tingkat universitas, maupun fakultas di bawah koordinasi dekan melalui wadek III Kemahasiswaan," tuturnya.
Melalui pemahaman pendidikan anti radikalisme, setiap mahasiswa di UB mendapat kuliah umum dari orang-orang yang kompeten dari luar kampus. Hal ini sebagai antisipasi menangkal paham radikal masuk ke lingkungan mahasiswa. Apalagi secara imej, Universitas Brawijaya merupakan salah satu universitas besar di tingkat nasional, termasuk 10 besar universitas terbaik di Indonesia berada di rangking 801 dunia.
"Jadi sebenarnya universitas maupun fakultas secara khusus sudah melaksanakan, walaupun dalam bentuk pendidikan atau garapan terkait anti radikalisme itu. Kami punya daftar juga beberapa penceramah yang kami undang untuk pelaksanaan kegiatan kegiatan tersebut," ungkapnya.
Tetapi diakui Hakim, tidaklah mudah mengontrol dan mengawasi total hampir 60 ribu lebih mahasiswanya. Maka untuk mengantisipasi penyebaran paham radikal di kampus, setiap kegiatan yang dilaksanakan di kampus harus dengan sepengetahuan dekan di tingkat fakultas dan rektor di tingkat universitas.
"Untuk itu pimpinan universitas bersama fakultas akan melakukan segala daya upaya untuk mencegah kegiatan serupa terjadi di kemudian hari. Dengan kasus ini kami akan memperkuat lagi, pengendalian dan pengawasan bagi aktivitas mahasiswa yang dilaksanakan tanpa izin. Jadi tidak boleh ada lagi kegiatan mahasiswa di dalam kampus, khususnya yang tidak sepengetahuan pimpinan universitas dan fakultas. Itu upaya pencegahan yang bisa kami lakukan," pungkasnya.