Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Sejarah Kelam G30S yang Memisahkan Jurnalis Francisca Fanggidaej dan 7 Anaknya Selama 38 Tahun

Tim Okezone , Jurnalis-Selasa, 27 September 2022 |05:00 WIB
Sejarah Kelam G30S yang Memisahkan Jurnalis Francisca Fanggidaej dan 7 Anaknya Selama 38 Tahun
Ilustrasi/ Foto: Tangkapan layar BBC
A
A
A

"Karena itu membekas sekali. Bayangkan, saat kita bermain, [diteriaki] 'PKI, PKI'," kata pria kelahiran 1956 dan ayah enam anak ini.

Kejadian lainnya yang disebutnya begitu membekas adalah ada foto-foto ibunya dalam ukuran besar yang ditempel di dinding sebuah rumah. Dia selalu melewatinya setiap berangkat dan pulang sekolah.

"Ada kata-kata 'tangkap hidup atau mati Francisca' dengan foto ibu saya. Itu tekanan yang bukan main buat saya pada waktu itu," katanya lirih.

Keberadaan foto dan tulisan itu, rupanya, juga membuat Santi sangat terpukul. Ketika itu dia siswa sebuah sekolah dasar yang letaknya tidak jauh dari dinding rumah tersebut.

"Pada waktu itu, saya mulai [bertanya-tanya], 'ada apa ya [terhadap ibu saya]. Itu sangat membekas," ungkap Santi.

Maya, sang anak bungsu, kala itu tak luput dari stigma dari sebagian masyarakat. Dia teringat ketika ada salah-seorang temannya di sekolah dasar menyebutnya 'PKI'.

"Saya kejar dia sampai rumahnya, saya tarik rambutnya. Anak itu sering ngatain saya (PKI)," kata Maya.

Santi juga mengaku pernah "memukul" seorang kawannya saat SD karena dia juga dilabeli 'PKI'.

"Dia bilang 'dasar anak PKI', (lalu)saya pukul dia, sampai berurusan dengan kepala sekolah," ungkap Santi.

Dan waktu terus berjalan. Memasuki bangku SMA, Maya sengaja memilih tidak bergaul secara mendalam dengan teman-temannya agar tidak sering ditanya "bapak dan ibu di mana".

"Zaman itu sudah ada disko, saya ikut saja. Diajak ke acara ulang tahun, saya datang. Tapi saya enggak terlalu mendalam sama mereka."

"Karena akan ada pertanyaan, 'Mama mana, bapak mana?' Itu selalu [ditanyakan]," Maya berujar pelan, seraya menarik napas panjang.

Bagi Maya, adanya stigma seperti itu tidak terlepas propaganda yang terus dihembuskan di zaman Orde Baru. "Padahal, mereka (yang menghinanya) tidak tahu apa-apa."

"Saya merasa ibu saya tidak salah kok. Ini hanya politik. Bapak saya (setelah dibebaskan) yang sering beritahu," cetusnya.

Itulah sebabnya, Maya kemudian tidak mau menonton film Pengkhianatan G30S/PKI yang dulu setiap tahun ditayangkan di televisi pada masa Orde Baru.

"Saya juga menolak Penataran P4, saya enggak busuk kok. Saya merasa dikotak-kotakkan, khusus anak tapol (tahanan politik) di kelurahan jam segini, saya enggak mau," aku Maya yang sarjana jurnalistik.

(Nanda Aria)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement