Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah ART di Qatar yang Bekerja di Keluarga Kerajaan dan Orang Kaya, Diberi Banyak Kemewahan hingga Tak Bisa Libur

Susi Susanti , Jurnalis-Rabu, 07 Desember 2022 |13:45 WIB
Kisah ART di Qatar yang Bekerja di Keluarga Kerajaan dan Orang Kaya, Diberi Banyak Kemewahan hingga Tak Bisa Libur
Ilustrasi asisten rumah tangga atau ART (Foto: BBC)
A
A
A

QATAR - Catatan hak asasi manusia (HAM) di Qatar menjadi sorotan di tengah berlangsungnya Piala Dunia 2022. Perlakuan Qatar terhadap pekerja migran yang membangun stadion-stadion dan hotel-hotel telah banyak ditulis, tapi bagaimana dengan para asisten atau pekerja rumah tangga (PRT) asing yang bekerja untuk para penguasa Qatar?

Koresponden gender dan identitas BBC Megha Mohan berbicara dengan dua PRT soal jam kerja mereka yang panjang tanpa hari libur.

BBC menghubungi Gladys, bukan nama sebenarnya, pada larut malam setelah majikannya yang merupakan kaum elite Qatar beranjak tidur.

Baca juga:  Dianggap sebagai Keluarga, ART Ini Digaji Rp60 Juta Per Bulan

Lewat percakapan online singkat, Gladys bercerita bahwa dia bekerja dari pukul 08.00 sampai 23.00 setiap hari.

Baca juga:  Viral Momen Haru Pertemuan Anak Majikan dan ART Usai Berpisah 14 Tahun

Dia membersihkan rumah, membantu menyiapkan makanan, dan merawat anak-anak majikannya.

Gladys makan apa yang tersisa dari makanan keluarga. Dia tidak pernah libur sejak mulai bekerja sekitar 1,5 tahun lalu.

"Nyonya itu gila," kata Gladys, seorang perempuan Filipina berusia 40-an, merujuk majikannya.

"Dia meneriaki saya setiap hari,” lanjutnya.

Sebelum Qatar memenangkan kompetisi untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, para pekerja asing tidak boleh pindah kerja atau meninggalkan negara itu tanpa izin dari majikan mereka.

Praktik itu masih berjalan di sebagian besar wilayah Qatar. Setelah mendapat sorotan dari komunitas internasional, Qatar mulai mengusung reformasi. Namun, dalam kenyataannya di lapangan, praktik reformasi tersebut tidak selalu diterapkan.

Majikan Gladys diketahui masih menahan paspornya. Jika dia meminta paspor itu untuk meninggalkan Qatar, dia tidak yakin bisa mendapatkannya kembali.

Tapi Gladys masih merasa beruntung. Setidaknya dia dibolehkan menyimpan ponselnya, tidak seperti beberapa PRT asing lainnya.

Gladys juga mengaku tidak dilecehkan secara fisik. Padahal, Menurut dia, pelecehan fisik kerap menimpa para PRT di Qatar.

Ada alasan lain mengapa Gladys bertahan di pekerjaannya saat ini. Menurut Gladys, kecil kemungkinan dia akan mendapat pekerjaan yang lebih baik di usianya.

Gladys digaji sebesar 1.500 rial (Rp6,4 juta) per bulan dan bisa mengirimkan semua penghasilannya itu ke kampung halamannya di Filipina demi menghidupi keluarganya.

Adapun kisah lain berasal dari Althea, bukan nama sebenarnya. Dia menggambarkan situasi yang sangat berbeda soal hidupnya sebagai PRT di Qatar untuk keluarga kerajaan Al Thani.

Dia melakukan panggilan video dengan BBC dari ruang bawah tanah kediaman kerajaan.

Althea tampak tersenyum dan bersemangat. Dia bercerita bahwa keluarga Al Thani memberinya banyak kemewahan. Seperti iPhone, pakaian, perhiasan, dan sepatu yang tidak mampu dia beli di Filipina.

Seperti Gladys, kesulitan mencari nafkah di negara asal yang membawa Althea ke negara teluk ini.

Saat kami berbincang, pekerja rumah tangga asal Filipina lainnya yang berbagi kamar besar di tempat tinggal Althea, ikut menyapa dan bergabung dalam panggilan video itu.

Mereka memiliki kamar tidur sendiri dan dapur pribadi. Ini penting. Sedangkan para pelayan lainnya yang dilihat Althea di TikTok dan Facebook tidak seberuntung itu. Mereka sampai mengemis makanan, memohon seseorang bisa menyelamatkan mereka.

"Saya sering melihat video-video itu online, itulah mengapa saya merasa sangat beruntung," terangnya.

"Bagi saya, setiap hari terasa seperti dongeng,” lanjutnya.

Meskipun demikian, dia harus bekerja keras di "istana Cinderella", istilah yang dia gunakan untuk tempat tinggal keluarga kerajaan ini dengan langit-langitnya yang tinggi, lampu-lampu gantung, barang antik bertatahkan emas, meja berlapis mutiara, serta bunga-bunga yang baru dipetik.

Althea biasanya mulai bekerja pada pukul 06.30, ketika para pelayan menyiapkan sarapan untuk keluarga.

Dia bisa makan setelah keluarga selesai sarapan. Setelah berbenah, mereka membersihkan ruangan-ruangan di istana itu, lalu menyiapkan makan siang.

"Ini pekerjaan yang ringan karena ada banyak pelayan," ujarnya.

Para PRT beristirahat di flat mereka antara pukul 15.00 dan 18.00, kemudian bersiap untuk makan malam.

Setelah makan malam selesai, Althea pun selesai bekerja. Dia juga bebas meninggalkan tempat itu jika dia ingin.

Keluarga kerajaan tidak menahan paspornya. Tetapi Althea bekerja setiap hari, termasuk pada akhir pekan.

Dia tidak mendapat hari libur yang semestinya dijamin oleh undang-undang di Qatar kecuali apabila pekerja yang memilih merelakannya.

Ini adalah harga yang harus dia bayar untuk menyokong keuangan keluarganya.

Althea, di istana kerajaannya, berkata bahwa dia bahagia meski harus bekerja dalam waktu yang panjang.

Ketika dia hendak tidur, dia akan mengirim pesan ke salah satu saudara atau orang tuanya di Filipina.

Dia kerap rindu rumah, sebab istana dongeng bukanlah rumah baginya.

Namun, istana itu tetap menjadi sumber pendapatannya yang penting.

"Saya tidak akan pernah bisa menghidupi keluarga saya tanpa pekerjaan ini," katanya.

Menurut data Badan Perencanaan dan Statistik Qatar pada 2021, diperkirakan ada 160.000 pekerja rumah tangga di Qatar.

Qatar mengesahkan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga pada 2017, yang mengatur jam kerja dibatasi hingga 10 jam sehari, mewajibkan adanya waktu istirahat harian, hari libur mingguan, serta hari libur berbayar.

Qatar juga menetapkan upah minimum pada 2020 dan memberi pekerja hak di atas kertas untuk berganti pekerjaan atau meninggalkan negara tersebut tanpa izin.

Amnesty International mengatakan undang-undang itu tidak selalu dipatuhi dan para PRT asing masih bekerja terlalu keras, kurang istirahat, mendapat perlakuan kasar, serta direndahkan.

Joanna Concepcion dari Migrante Internasional, yang merupakan organisasi akar rumput yang mendukung pekerja migran Filipina, mengatakan bahwa banyak PRT yang diam soal kondisi kerja mereka yang buruk karena memprioritaskan nafkah untuk keluarga mereka.

Namun ketika para pekerja di Qatar merasa cukup percaya diri untuk berbicara secara bebas, mereka kerap menyinggung soal pelecehan yang serius.

Serang perempuan mengaku bahwa majikannya mendorong kepalanya ke dalam toilet dan tidak memberi makan serta minum saat sedang marah.

Sementara itu, Mary Grace Morales, seorang perekrut tenaga kerja di Manila yang menghubungkan para pekerja Filipina dengan para VIP di Qatar mengatakan bahwa bekerja di istana adalah pekerjaan yang "membuat iri".

"Ada banyak tunjangan. Keluarga kerajaan murah hati," katanya.

Dengan kesulitan hidup yang dihadapi para PRT di tanah air mereka, Morales mengatakan jika para gadis menjadi lebih gemuk saat berada di istana. “Keluarga kerajaan memberi mereka makan dengan baik,” ujarnya.

Tetapi para bangsawan memiliki sejumlah persyaratan yang sangat spesifik.

"Gadis-gadis yang dikirim bekerja untuk keluarga kerajaan Qatar berusia antara 24 hingga 35 tahun dan sangat cantik," ungkapnya.

Dia berhenti sejenak untuk melihat ke layar, menatap saya yang berada di kantor pusat BBC di London.

"Lebih cantik darimu," katanya sambil tersenyum.

Setelah itu, dia mengirim pesan via WhatsApp untuk meminta maaf karena anak-anaknya mendengar itu dan mengatakan bahwa dia tidak sopan.

"Mereka harus muda karena keluarga kerajaan Qatar membutuhkan individu yang sangat energik dan sehat untuk menangani aktivitas istana yang sibuk,” ujarnya.

"Dan pelamar harus cantik, sangat cantik," ulangnya.

Joanna Concepcion dari Migrante International berharap apa yang disampaikan Althea soal kondisi bekerja sebagai pembantu kerajaan itu benar.

“Sepertinya kita tidak bisa mengetahuinya dengan pasti selama dia masih di Qatar dan bekerja untuk keluarga yang berpengaruh kuat,” terangnya.

Sejumlah staf kerajaan telah mengeluh begitu meninggalkan negara itu. Pada 2019, tiga pekerja asal Inggris dan AS --yang bekerja sebagai pengawal, pelatih pribadi, serta guru privat-- menggugat saudara perempuan emir, Sheikha al Mayassa binti Hamad bin Khalfa Al Thani dan suaminya dengan tuduhan bahwa mereka dipaksa bekerja berjam-jam tanpa lembur.

Keluarga kerajaan membantah tuduhan tersebut dan mengklaim kekebalan diplomatik mereka ketika gugatan itu dilayangkan di New York.

"Melaporkan kasus kekerasan serta pelecehan, kurangnya keselamatan dan kesehatan kerja, dan kurangnya akomodasi yang layak adalah upaya yang menantang," kata Direktur regional Organisasi Buruh Internasional (ILO) untuk negara-negara Arab, Ruba Jaradat.

ILO mengatakan sedang bekerja sama dengan Qatar untuk menerapkan aturan baru yang menjamin upah minimum, hari libur setiap minggu, cuti sakit dan upah lembur, meskipun upaya ini tetap menjadi "tantangan".

BBC meminta keluarga kerajaan Qatar dan kedutaan besar Qatar di London untuk berkomentar, tetapi tidak mendapat jawaban.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement