JAKARTA - Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menimbulkan sejumlah pro kontra, salah satunya mengenai hukuman mati yang juga disinggung pengacara kondang Hotman Paris.
Terkait hal ini, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly menjelaskan, hukuman mati yang diberikan pada narapidana itu merupakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), guna memcari titik tengah pertarungan antara kaum retensionis dengan kaum abolisionis.
BACA JUGA:Wamenkumham Tegaskan Pasal Perzinaan di KUHP Baru Menyelamatkan Turis dari Penggerebekan
"Antara yang ingin hukuman mati dengan antara yang ingin menghilangkan hukuman mati. Kita ambil middle ground dan itu keputusan MK,” kata Yasonna kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (12/12/2022).
"Saat hukuman mati diuji mengatakan bahwa sebaiknya di dalam pelaksanaan hukuman mati atau kalau nanti ada perubahan undang-undangnya, diambil ada masa percobaan. Ada masa percobaan 10 tahun," sambungnya.
BACA JUGA:Masyarakat Keberatan dengan Pengesahan KUHP, Komnas HAM Sarankan Gugat ke MK
Politikus PDIP ini menjelaskan, dalam urusan ini pemerintah mengambil middle ground, dan memastikan bahwa sebelum eksekuai harus menunggu 10 tahun. Alasannya, karena manusia bisa berubah karakteristiknya setelah dilakukan pembinaan.
Apalagi, kata Yasonna, pada praktiknya hari ini ada yang menunggu sampai 15 tahun dan belum dieksekusi. Ada juga yang dieksekusi meskipun narapidana itu sudah berubah. Tetapi bagaimanapun, itulah hukum yang berlaku dan vonis telah dijatuhkan.
"Ada yang dieksekusi setelah berubah manusianya. Aku tahu ada seorang yang sudah berubah menjadi oranng baik. Tetapi law is a law (hukum adalah hukum). Putusan adalah putusan. Setelah lebih 10 tahun dia di dalam akhirnya dieksekusi, tetapi he has been changed (narapidana itu sudah berubah. Dia sudah berubah. Tetapi ya begitu (aturannya)," papar Yasonna.