Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Clotilda, Kapal Pengangkut Budak Terakhir dari Afrika ke Amerika Serikat

Tim Okezone , Jurnalis-Rabu, 14 Desember 2022 |06:14 WIB
Kisah Clotilda, Kapal Pengangkut Budak Terakhir dari Afrika ke Amerika Serikat
Perbudakan di Amerika Serikat/Foto: BBC
A
A
A

JAKARTA - Penemuan sisa-sisa kapal Clotilda yang tenggelam 160 tahun lalu menghadirkan kehidupan baru ke sebuah desa kecil yang dibangun oleh para penyintas perbudakan.

"Sungguh gila berpikir mereka akan berlayar melewati daerah ini," kata Darron Patterson, sambil menarik mobilnya ke sebidang rumput yang menghadap ke Sungai Mobile yang keruh.

 BACA JUGA:Pulihkan Infrastruktur Listrik dan Sistem Pemanas, Ukraina Butuh Rp15 Triliun

Dilansir dari BBC, Selasa (13/12/2022), sebagai pimpinan Asosiasi Keturunan Clotilda, Patterson fasih berbicara tentang pelayaran Clotilda, sebuah kapal pengangkut budak terakhir yang diketahui mencapai Amerika Serikat.

Kakek buyutnya adalah Kupollee, yang kemudian berganti nama menjadi Pollee Allen. Dia adalah salah satu dari 110 laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang disekap secara kejam dari Benin di Afrika Barat, lalu dibawa ke AS di atas kapal yang terkenal keji tersebut.

Kisah bagaimana kerabat Patterson tiba di AS dengan kapal budak ilegal dimulai sebagai taruhan yang sangat sembrono.

 BACA JUGA: Bahu Jembatan Pamuruyan Ambruk, Akses Jalan Sukabumi-Bogor Macet Parah

Pada tahun 1860 atau sekitar 52 tahun setelah pemerintah AS melarang pengiriman budak, pebisnis kaya dari Alabama bernama Timothy Meaher bertaruh dapat mengatur pengangkutan orang Afrika.

Orang-orang Afrika yang dia sebut diculik untuk berlayar di bawah pengawasan pemerintah federal dan dapat menghindari larangan.

Pertaruhan itu belakangan memang berhasil. Dia dibantu kapten kapal bernama William Foster yang mengemudikan kapal berlayar ganda setinggi 24 meter.

Kapal itu mengarungi Samudera Atlantik selama enam pekan. Kapal menyelinap ke Teluk Mobile pada 9 Juli 1860, di bawah selubung kegelapan.

Untuk menyembunyikan bukti kejahatan, kapal layar yang terbuat dari bingkai kayu ek putih dan papan pinus kuning selatan itu dibakar, kemudian ditenggelamkan ke Sungai Mobile.

Di sungai yang dalam itu, kapal tersebut lalu menjadi tersembunyi di bawah air, keberadaannya dihilangkan.

Fakta itu tenggelam sampai 160 tahun setelahnya. Kala itu sungai surut secara tidak biasa. Seorang wartawan lokal bernama Ben Raines lalu menemukan bangkai kapal karam yang besar dan megah, yang awalnya dianggap berkaitan dengan Clotilda.

Namun temuan itu ternyata penanda palsu. Meski begitu, penemuan itu menghidupkan kembali minat dan menyebabkan pencarian ekstensif yang melibatkan banyak pihak, termasuk oleh Komisi Sejarah Alabama, National Geographic Society, Search Inc, dan The Slave Wrecks Project.

Setelah melewati upaya yang melelahkan, pada Mei 2019 akhirnya diumumkan bahwa bangkai kapal Clotilda ditemukan.

Saat ini, atau sekitar tiga tahun setelahnya, Kota Mobile di Alabama berada di ambang ledakan pariwisata. Minat terhadap kisah Kapal Clotilda dan kehidupan para tawanannya yang tangguh perlahan meningkat.

Patterson setuju mengantar saya berkeliling Africatown, sebuah permukiman yang menjadi tempat tinggal banyak penyintas perbudakan kapal itu. Patterson juga tumbuh dewasa di daerah ini.

Kami memulai tur di sebidang tanah di tepi Sungai Mobile ini, di bawah jembatan antarnegara bagian yang menjulang tinggi. Di sinilah sekelompok keturunan penyintas kapal budak Clotilda bertemu setiap tahun dalam Festival Under the Bridge mereka.

Lewat ajang itu, mereka hendak menyuarakan bagaimana nenek moyang mereka sampai di sini.

Di mobilnya, Patterson, mantan penulis olahraga yang sekarang berusia 60-an tahun, mengenang Africatown sebagai tempat yang berkembang dan mandiri.

"Satu-satunya momen kami meninggalkan komunitas ini adalah saat membayar tagihan listrik," ujarnya. Selain kantor pos, tempat ini menyediakan apapun yang dibutuhkan warga.

Terletak lima kilometer di sisi utara pusat kota Mobile, Africatown didirikan oleh 32 penyintas kapal budak Clotilda. Mereka selamat dan hidup pada era emansipasi di akhir Perang Saudara tahun 1865.

Kerinduan terhadap tanah air mendorong mereka mendirikan komunitas yang hangat, yang memadukan tradisi Afrika dan cara hidup tradisional warga Amerika, seperti memelihara ternak dan mengelola lahan pertanian.

Sebagai salah satu kota pertama yang didirikan dan dikendalikan oleh keturunan Afrika-Amerika di AS, Africatown memiliki gereja sendiri, tempat pangkas rambut, dan berbagai toko, yang salah satunya dimiliki paman Patterson.

Ada pula Mobile County Training School, yaitu sebuah sekolah umum yang menjadi tulang punggung masyarakat setempat.

Namun, lingkungan yang dulu semarak ini mengalami masa-masa sulit ketika jalan bebas hambatan dibangun di jantung daerah ini pada tahun 1991. Polusi industri juga membuat banyak penduduk yang tersisa akhirnya berkemas dan pergi.

"Kami bahkan tidak bisa menjemur cucian karena akan tertutup abu produk dari tangki penyimpanan minyak dan pabrik di pinggiran Africatown," kata Patterson.

Komunitas Africatown yang membengkak menjadi 12.000 orang pada tahun 1960, kini menyusut hingga hanya sekitar 2.000 orang.

Eksodus, kemiskinan, dan bekas kerusakan lingkungan terlihat saat Patterson melaju lebih jauh ke Africatown. Kawasan itu dipenuhi pabrik-pabrik yang ditinggalkan.

Namun Africatown berubah, sekali lagi. Setelah penemuan bangkai kapal, muncul keinginan untuk membangun kembali dan melestarikan tempat bersejarah ini.

Perhatian sekelompok orang dan dana memengaruhi segalanya, dari hubungan pribadi, sejarah hingga masa depan permukiman tersebut.

Meski kisah kapal pengangkut budak Clotilda diketahui dan kehidupan para penyintasnya didokumentasikan secara baik dalam foto, wawancara, bahkan cuplikan film, tanpa bukti bangkai kapal, sejarahnya akan tetap terkubur.

Dan tanpa penemuan itu, masyarakat kulit putih tidak akan berkepentingan untuk mengakui fakta tentang sekelompok orang Afrika yang datang untuk diperbudak ini.

Penemuan bangkai kapal dapat mempertegas kisah para penyintas dan memulihkan kebenaran setelah beberapa dekade penyangkalan.

(Nanda Aria)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement