PADA 1973, astronot di stasiun ruang angkasa milik Amerika Serikat, Skylab, menjatuhkan berbagai peralatan dan menolak berkomunikasi dengan ruang kontrol misi. Mereka mengeluh karena terlalu banyak bekerja, dan ketika permintaan mereka untuk jadwal kerja yang lebih lunak ditolak, mereka mengambil sikap dengan menghabiskan waktu seharian mengagumi pemandangan dari balik jendela stasiun ruang angkasa dan hanya melakukan sedikit hal lainnya.
"Kami diberi jadwal kerja berlebihan," ungkap astronaut William Pogue dalam tulisannya kemudian, dinukil dari BBC.
"Kami hanya bekerja sepanjang hari. Pekerjaan itu bisa melelahkan dan membosankan, meskipun pemandangannya spektakuler."
Bentuk perlawanan itu dilakukan saat misi selama 84 hari tersebut baru mereka lalui separuhnya. Para astronot kemudian menyebut insiden itu dengan istilah "pemogokan", sementara yang lain merujuknya dengan sebutan "pemberontakan".
Kejadian itu menjadi indikasi pertama yang menunjukkan bahwa perjalanan luar angkasa yang panjang akan memunculkan tantangan tambahan yang pada misi-misi sebelumnya - yang relatif berdurasi lebih singkat - tidak pernah terjadi.
Seiring semakin seriusnya rencana untuk menerbangkan manusia ke planet Mars, salah satu ancaman terbesar bagi misi tersebut bisa datang dari kondisi psikologis para awak pesawat ruang angkasa itu sendiri.
Para peneliti menjadikan Antartika sebagai lokasi uji coba bagaimana kesehatan mental kita akan merespons perjalanan ruang angkasa jarak jauh.
Antartika menjadi analogi yang baik dengan sejumlah pertimbangan: tempat itu gelap - Kutub Selatan memiliki periode beberapa bulan di mana langit malam akan hadir secara terus-menerus selama musim dingin, menghilangkan siklus siang dan malam yang biasanya kita lalui; tempat itu amat sangat dingin, dengan suhu mencapai -80 Celsius sehingga akan sulit bagi siapapun untuk keluar ruangan.
Kemudian ada sifat isolasi. Tempat itu secara fisik sangatlah terpencil - tergantung di mana tepatnya Anda berada, proses evakuasi di tengah musim dingin bisa jadi tidak mungkin dilakukan. Selain itu, lokasi tersebut juga terisolasi secara sosial - Anda tinggal di dalam sebuah markas tertutup dengan sedikit orang yang sama sepanjang waktu.
Pemberontakan Skylab bisa menjadi contoh dari "fenomena tiga perempat" yang dialami para penjelajah kutub dan lainnya.
Meskipun tidak semua orang setuju bahwa fenomena itu ada, fenomena tersebut muncul dalam berbagai situasi, termasuk dalam misi-misi ruang angkasa yang disimulasikan.
Fenomena itu merupakan sesuatu yang dicari Gro Mjeldheim Sandal - profesor ilmu psikososial di Universitas Bergen, Norwegia - ketika ia meneliti emosi 27 orang di Stasiun Concordia di Antartika, di mana temperatur luar ruangan mencapai -51 Celsius, dan akses dari dan menuju stasiun hanya tersedia dari November hingga Februari.