Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Operasi Petrus yang Brutal dan Mengerikan, Buat Orang-Orang Berebutan Hapus Tato

Solichan Arif , Jurnalis-Senin, 06 Februari 2023 |09:23 WIB
Kisah Operasi Petrus yang Brutal dan Mengerikan, Buat Orang-Orang Berebutan Hapus Tato
Ilustrasi. (Foto: Okezone)
A
A
A

BLITAR Penembak Misterius atau Petrus adalah julukan bagi pelaku penembakan yang menyebabkan mayat-mayat bergelimpiangan di jalanan Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jakarta pada era 1980-an.

Aksi Petrus dimulai pada Maret 1992, dimana saat itu sejumlah mayat ditemukan dengan luka tembakan senjata api pada kepala dan beberapa di antaranya di tubuh bagian depan. Mereka yang ditemukan mati rata-rata teridentifikasi sebagai penjahat kelas teri, berandalan, residivis atau mantan narapidana, yang tindak tanduknya meresahkan lingkungan.

Di Yogyakarta, ciri-ciri korban itu diistilahkan sebagai gali (gabungan anak liar), yang digunakan untuk menyebut para bromocorah, bandit, begal, berandalan atau anggota geng kriminal.

Hal lain yang juga dipahami oleh masyarakat adalah bahwa korban yang bergelimpangan di jalanan itu hampir semuanya bertato. Pada saat itu, tato dipandang negatif karena lekat dengan kegiatan kriminal atau gali.

Tato ini yang ditenggarai digunakan eksekutor Petrus sebagai penanda target mereka.

“Secara khusus tato-yang dipandang sebagai tanda identifikasi simbolis dengan dunia gelap kejahatan-dipakai untuk mengidentifikasi sasaran pengenyahan potensial,” demikian yang tertulis dalam buku Politik Jatah Preman (2018).

Karena itulah pada 1982, banyak orang yang ingin menghapus tato mereka karena tidak ingin menjadi incaran Petrus.

Segala cara digunakan oleh orang-orang untuk menghapus tato mereka.

Di luar jasa klinik, tak sedikit dari mereka menghapus tato dengan cara menyiram air aki atau menyetrika. Akibatnya di tempat tato berada terlihat seperti bekas luka bakar.

Hal yang membuat situasi semakin mencekam adalah karena operasi petrus dilakukan secara terang-terangan. Eksekutor Petrus dengan cepat, dan sistematis menembak target di depan umum dan mayatnya ditinggalkan tergeletak begitu saja.

Kendati demikian, kebanyakan mayat para korban petrus itu diletakkan dalam karung atau glangsing. Biasanya setelah melalui proses penculikan. Hal itu yang melahirkan istilah di masyarakat, mayat yang diglangsing atau dikarungi.

Tercatat selama 1982-1985, jumlah orang-orang terduga gali yang tewas akibat operasi petrus mencapai 5.000-10.000 jiwa.

“Konsentrasi terbesarnya berada di Yogyakarta, Jawa Timur dan Jakarta,” tulis Ian Douglas Wilson dalam Politik Jatah Preman.

Pada saat Petrus berlangsung, angka kriminalitas kekerasan, utamanya di Yogyakarta, Jawa Timur dan Jakarta menurun drastis. Peristiwa perampokan, penodongan atau penjambretan di jalanan, tidak lagi terjadi.

Hal itu yang ditengarai yang membuat publik tidak banyak mengecam aksi petrus, meski beberapa kasus terjadi salah sasaran. Di sejumlah kasus, korban petrus hanya seorang pemuda pengangguran yang ketiban sial.

Operasi petrus berakhir pada 1985, lantaran mulai muncul isu terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pada saat itu pemerintah orde baru tidak banyak menjelaskan soal petrus. Kepala Kopkamtib Benny Moerdani menyatakan mayat-mayat yang bergelimpangan itu hasil dari perang perebutan wilayah di antara para gali itu sendiri.

Namun Presiden Soeharto dalam biografinya pada 1989, justru lebih terbuka mengungkap tentang Petrus. Menurut Pak Harto, Petrus bertujuan sebagai terapi kejut.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement