Sementara pasukan darat Inggris dikomando Letjen Sir Phillip Christison yang membawa Divisi Kelima, 23 dan 26 India. Mereka mengemban tugas utama melucuti senjata Jepang, mengurus tawanan Jepang dan para interniran, serta memelihara keamanan dan ketertiban Hindia-Belanda.
Semua rombongan sekutu itu disebut Allied Force Netherland East Indies (AFNEI). Christison sendiri datang tidak bersamaan dengan pasukannya itu, melainkan mendarat di Kemayoran dengan pesawat pembom B-25 Mitchell.
Sementara selain di Jakarta, Inggris juga mendaratkan bala tentaranya di Surabaya yang dibawahi Mayjen EC Mansergh, serta di Medan dan Padang yang dipimpin Mayjen HM Chambers.
Tapi Inggris tidak datang sendiri. Ya, kedatangan mereka diboncengi NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) yang diwakili mantan Gubernur Jenderal Jawa Timur, Dr CHO van der Plas dan Jenderal Ludolph Hendrik van Oyen.
Kedua perwira tinggi sekutu itu (Patterson dan Christison) dipercaya Mountbatten untuk menghindari konflik terbuka dengan republik yang baru lahir. Pun begitu, Mountbatten seakan lepas tangan dengan apa yang hendak dilakukan NICA di Hindia-Belanda.
Kedatangan dua perwakilan NICA itu juga awalnya mencari informasi tentang bekas jajahan mereka yang sempat dirampas Dai Nippon pada permulaan Perang Pasifik. Tapi keduanya memberi laporan yang ‘ngawur’ kepada Mountbatten.
Betapa tidak, dalam buku ‘Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati’, Van der Plas menyebutkan Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan atas pemberian Jepang.