JAKARTA - Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadi gempuran pemberontakan di Indonesia. Diantaranya adalah Andi Azis di Sulawesi Selatan dan Soumokil di Maluku. Mereka tidak ingin bergabung kedalam negara kesatuan dan ingin tetap mempertahankan bentuk negara federal.
Untuk itu, Kolonel A. E. Kawilarang, dipilih untuk menjadi Panglima Ekspedisi Indonesia Timur. Berbekal 120.000 pasukan dan sejumlah senjata, pemberontakan Andi Azis di Makassar dapat dipukul mundur. Sedangkan Soumokil melarikan diri ke Maluku. Disana, Ia memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS), hal itu membuat Panglima Ekspedisi Indonesia Timur mengemban tugas yang lebih berat.
Setelah selesai di Makassar, pasukan mendapat bala bantuan dari Batalyon Soeradji yang dipimpin Letkol Slamet Riyadi. Pasukan juga berpindah wilayah operasi ke Maluku untuk merebut Kota Ambon. Operasi itu dinamakan dengan Operasi Senopati.
Sesampainya disana, terjadi bentrok senjata antara Pasukan Slamet Riyadi dengan kelompok separatis yang diperkuat dua kompi bekas pasukan KST (Korps Speciale Troepen-Pasukan Khusus Belanda). KST bertugas sebagai penembak runduk dan menurunkan pasukan dalam kelompok kecil untuk menghadang Infantri Slamet Riyadi.
Kelompok separatis bergerak dengan cepat, sehingga Angkatan Perang Repbulik Indonesia (APRI) tidak sempat memberi serangan balasan. Alhasil, operasi senopati untuk merebut Kota Ambon dalam 4 hari berakhir gagal.
Melihat evaluasi dari pertempuran tersebut, Slamet Riyadi menyadari bahwa pasukan musuh memiliki taktik pertempuran yang berbeda. Mereka juga dapat melawan pasukan Indonesia walaupun kalah jumlah. Kemudian Slamet Riyadi mengutarakan niatnya kepada Kolonel A.E. Kawilarang untuk membentuk pasukan khusus setelah operasi penumpasan RMS selesai.