DIPATI Ukur, panglima perang sekaligus orang kepercayaan Sultan Agung penguasa Kerajaan Mataram, harus meregang nyawa dengan cara ironis. Dipati Ukur yang dinyatakan membangkang perintah Sultan Agung pasca kekalahan di perang melawan VOC Belanda di Batavia, akhirnya menjadi buruan pasukan Mataram.
Sosok Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung, yang kini menjadi sebuah wilayah Batulayang, sekitar 3 kilometer sebelah barat alun-alun Cililin, Kabupaten Bandung Barat, pada tahun 1632. Setelah berhasil ditangkap, ia pun dihukum mati di Mataram.
Selama satu tahun lebih pelariannya dari pengejaran Kerajaan Mataram ia banyak meninggalkan benda-benda di tempat persembunyiannya. Konon Peri Mardiyono pada bukunya "Tuah Bumi Mataram : Dari Panembahan Senopati hingga Amangkurat II", menyatakan sebenarnya ada banyak peninggalan Dipati Ukur yang sebagian besar ditemukan di tempat-tempat persembunyiannya selama bergerilya melawan Mataram.
Sejumlah wilayah seperti di Gunung Lumbung dan di Kampung Pabuntelan, yang dahulu menjadi ibu kota Tatar Ukur. Tempat-tempat itu sebagian besar berlokasi di wilayah Kabupaten Bandung. Barang-barang peninggalan Dipati Ukur yang ditemukan berupa bekas perkampungan, makam, senjata, piagam, patung, batu, lingga dan sejumlah barang lainnya.
Kemudian, sejumlah peninggalan Dipati Ukur yang ditemukan di Kampung Pabuntelan, bekas ibu kota Tatar Ukur, yang sekarang berada di Desa Mekarjaya yang dulu bernama Desa Tenjonagara, yaitu di perbatasan antara Desa Cipeujeuh dan Kecamatan Banjaran, sekitar 20 kilometer arah tenggara Kota Bandung.