JAKARTA – Adolf Hitler adalah seorang tokoh yang berkuasa dan salah satu pemimpin paling kuat pada masanya. Namun, ternyata tidak semua orang dekat, bahkan keluarga yang memiliki hubungan darah dengan Hitler mengikuti pemikiran fasisnya dan bergabung bersamanya dalam ideologi nasionalisme-sosialisme (Nazi).
Nyatanya, salah seorang keponakan Hitler justru membelot ke Amerika Serikat (AS) dan menentang kekejaman Der Fuhrer, julukan Hitler. William Patrick “Willy” Hitler diketahui bergabung dengan Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) pada 1944, saat Hitler masih berkuasa di Jerman.
Dilansir dari todayifoundout.com, Willy merupakan putra dari adik tiri sang diktator, Alois Hitler Jr. yang lahir dari ibu Irlandia, Bridget Dowling di Liverpool, Inggris pada 12 Maret 1911.
Usai Perang Dunia i pada 1918, ayah dan ibu Willy bercerai dan dia dikirim ke Jerman untuk tinggal bersama Alois. Pada 1929, di usia 18 tahun, Willy mengenal ideologi Nazi yang dicetuskan pamannya, Adolf Hitler.
Willy sendiri baru bisa bertemu secara langsung dengan Hitler pada 1930 dan mendapatkan “kado” berupa foto bertandatangan Hitler.
Tak lama setelah Hitler menjabat Kanselir Jerman pada 1933, Willy memanfaatkan posisi sang paman untuk bisa bekerja di sebuah bank di Berlin. Willy juga sempat pindah tempat kerja ke pabrik otomotif Opel.
Namun, Willy tak bisa mengirim uang kepada ibunya di Inggris lantaran dilarang oleh Hitler. Pemimpin Nazi itu melarang Willy mengirim uang ke luar Jerman untuk siapapun sehingga membuat sang keponakan kesal.
Kekesalan Willy ditanggapi dengan marah oleh Hitler, yang sempat menyebutnya sebagai “keponakan yang paling memuakkan”.
Dilaporkan bahwa kekesalan ini juga mendorong Willy untuk memeras Hitler, menuntut diberi pekerjaan di posisi yang tinggi jika Hitler tak ingin rahasianya sebagai cucu dari seorang Yahudi diungkap ke publik.
Saat itu Hitler sedang berada pada puncak kekuasaannya dan publik Jerman tidak berani percaya, bahwa Hitler masih keturunan seorang pedagang Yahudi, Leopold Frankenberger. Karena itulah ancaman Willy tidak membuahkan hasil.
Hitler sendiri kemudian menawari Willy pekerjaan dengan jabatan tinggi, jika keponakannya itu mau melepas kewarganegaraan Inggris-nya. Namun, kali ini Willy menolak karena dia mencium ada konspirasi di balik tawaran pamannya itu.
Jelang pecahnya PD II, tepatnya pada 1938, Willy memilih kembali ke Inggris dan sempat merilis sebuah artikel bertajuk, “Why I Hate My Uncle (Mengapa Saya Membenci Paman Saya)”.
Setahun kemudian, Willy bersama sang ibu melancong ke AS, seraya mempromosikan bukunya berjudul “My Uncle Adolf”. Tapi mereka tak bisa kembali ke Inggris karena PD II sudah ‘keburu’ meletus.
Usai Inggris menyatakan perang terhadap Jerman, Willy sempat ingin mengabdi di Angkatan Laut Inggris yang sayangnya, ditolak. Willy pun pindah ke AS dan menulis surat kepada Presiden AS ke-32, Franklin D. Roosevelt (FDR), untuk diizinkan bergabung ke US Navy pada 1942.
“Semua kerabat dan teman-teman saya akan segera bertempur demi kebebasan dan kepatutan di bawah Stars and Stripes (bendera AS). Dengan hormat, saya mengirim petisi ini kepada Anda agar diizinkan bergabung dengan mereka dalam perjuangan melawan tirani penindasan,” tulis Willy kepada FDR, seperti dinukil NY Daily News.
Surat itu sempat lebih dulu diperiksa Badan Investigasi AS (FBI), di mana Direktur FBI, J. Edgar Hoover menyatakan catatan kriminal Willy bersih dan bebas dari masalah hukum. FDR pun mengizinkannya masuk US Navy pada 1944.
Tapi tidak sempat lama berkarier di AL AS sebagai petugas medis, Willy mengalami cedera yang mengharuskannya mengakhiri karier di kemiliteran dengan dianugerahi medali Purple Heart.
Pasca-keluar dari US Navy, Willy mengubah namanya menjadi William Patrick Stuart-Houston dan menikahi kekasihnya, Phyllis Jean-Jacques dan menetap di Long Island hingga meninggalnya Willy pada 14 Juli 1987.
Tak seperti Hitler yang tidak punya keturunan langsung setelah bunuh diri di akhir PD II, Willy punya empat anak, yakni Alexander Adolf Stuart-Houston, Louis Stuart-Houston, Howard Ronald Stuart-Houston, dan Brian William Stuart-Houston.
(Rahman Asmardika)