JAKARTA – Peran prajurit TNI angkatan udara (TNI AU) dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Republik Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi. Salah satu kisah heroisme yang diukir prajurit TNI AU ini terjadi pada Operasi Serigala untuk merebut Irian Barat atau yang sekarang dikenal sebagai Papua.
Kala itu, anggota Pasukan Gerak Cepat (PGT) yang dipimpin Mayor Udara (Anm) Lambertus Manuhua bersama pasukannya menembus dan menghancurkan pertahanan Belanda di Irian Barat. Atas tindakan Manuhua dan prajurit PGT ini, pasukan TNI dapat memiliki pijakan di Papua Barat.
Sebagaimana diketahui 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk merebut Irian Barat.. Keputusan ini diambil setelah Belanda melanggar perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) dan menolak melepaskan Irian Barat, bahkan mengirimkan pasukan dan persenjataan ke wilayah itu untuk mempertahankannya.
Pada 2 Januari 1962, Presiden Soekarno mengumumkan digelarnya operasi militer dengan membentuk Komando Mandala. Dia menunjuk Brigjen TNI Soeharto sebagai Panglima Komando Mandala dan menaikkan pangkatnya menjadi Mayjen TNI.
Sebelum menggelar operasi berskala besar, TNI lebih dahulu menggelar berbagai operasi infiltrasi guna melemahkan kekuatan Belanda. Salah satu operasi itu adalah Operasi Serigala yang digelar Panglima Angkatan Udara Mandala (AULA) sekaligus Wakil Panglima II Komando Mandala (Kola) Komodor Udara Leo Wattimena.
Pada 15 Mei 1962, operasi digelar dengan menerjunkan pasukan PGT yang dipimpin Letnan Udara (LU) I Lambertus Manuhua, dengan wakilnya yakni, LMU I Suhadi, SMU Soepangat dan SMU Mengko.
Dikutip dari buku “Heroisme PGT Dalam Operasi Serigala: Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Teminabuan” yang diterbitkan Subdisjarah Dinas Penerangan Angkatan Udara (Dispenau), upaya penerjunan awal para prajurit khusus ini mengalami kegagalan lantaran cuaca buruk.
Penerjunan kedua dilakukan dua hari kemudian, para 17 Mei 1962, tepat pukul 04.00 dini hari. Sebanyak 119 pasukan Baret Jingga ini diterbangkan dengan menggunakan tiga pesawat Dakota C-47 dari Pangkalan Udara Laha, Ambon.
Dari tiga pesawat yang diberangkatkan hanya satu pesawat yang melakukan penerjunan pasukan PGT sebanyak 39 orang. Pasukan yang dipimpin Manuhua sebagai Komandan Kompi dengan Danton SMU Soepangat yang rencananya diterjunkan ke daerah Klamono, Sorong pun meleset dari sasaran dan mendarat di Pegunungan Mariyat.
Para prajurit juga mendarat menyebar dan terpisah, dengan tak sedikit di antara mereka tersangkut di atas pohon bersama perbekalan yang dibawa. Pasukan ini membutuhkan waktu berharii-hari sampai akhirnya bersatu kembali.
Manuhua sendiri tersangkut di pohon selama tiga hari dan tiga malam sebelum ditemukan oleh pasukannya dalam keadaan pingsan. Karena pasukannya kesulitan menurunkannya dari atas pohon, Manuhua nekat menjatuhkan diri ke tanah, menyebabkan kakinya terkilir.
Pasukan PGT juga kehilangan PU I Slamet H yang ditemukan dalam keadaan tertindih kayu kering yang besar dan menyebabkan pinggangnya patah. PU I Slamet H yang juga mengalami luka-luka di kaki dan tubuhnya akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di hutan pegunungan Mariyat.
Setelah dua minggu, sebanyak 12 anggota PGT berhasil bertemu. Manuhua kemudian membagi pasukannya menjadi dua kelompok kecil.
Tim pertama dipimpin langsung Manuhua bertugas melakukan sabotase terhadap kekuatan Belanda. Sedangkan kelompok kedua dipimpin Kapten Udara (KU) I Supardi.
Bersama tujuh orang anggotanya, Manuhua melancarkan aksi gerilya dan terlibat kmontak senjata dengan Belanda. Pria kelahiran Desa Alang, Ambon, Maluku pada 17 Maret 1924, itu memimpin anak buahnya melalui pertempuran demi pertempuran dengan pasukan Belanda.
Setelah berhari-hari berada di dalam hutan lebat tanpa perbekalan, Manuhua dan pasukannya memutuskan turun dan masuk ke permukiman warga sekitar untuk mencari makanan. Kedatangan Manuhua langsung diterima oleh warga setempat. Mereka lalu memberi Manuhua dan anak buahnya sagu.
Namun, saat memutuskan untuk bermalam di desa, Manahua dan pasukannya ternyata dijebak dan dikepung oleh musuh. Mereka baru menyadari hal ini setelah melihat beberapa tentara Belanda tengah mendekati rumah yang mereka tempati.
Belum sempat bereaksi penuh, rumah panggung tersebut telah ditembaki secara gencar oleh pasukan Belanda. PU I Sugiyanto gugur seketika, sedangkan Kapten Udara (KU) I Muis mengalami luka tembak di kakinya. Sementara Manuhua, bersama Sutarmono dan Angkow melompat ke luar ke semak-semak.
Meski kekuatan musuh jauh lebih banyak, namun Manahua dan pasukannya tidak gentar.
Di tengah pertempuran sengit, Sutarmono mendapati tangan Manuhua terluka. Melihat banyak anak buahnya yang terluka, Manuhua kemudian memerintahkan Sutarmono untuk meninggalkan tempat tersebut.
Kendati tak tega, Sutarmono kemudian meninggalkan medan pertempuran sambil terus mengawasi komandannya. Saat itu, Sutarmono melihat dengan jelas bagaimana komandan kompinya yang terluka terus ditembaki musuh hingga akhirnya jatuh dan gugur. Sebagai penghargaan atas keberaniannya, nama Manuhua kini diabadaikan sebagai Pangkalan Udara di Biak.
”Saat itu, terdengar dengan jelas pembicaraan tentara Belanda yang mengatakan kalau LU I Manahua dan anak buahnya sudah mati semua kecuali satu yaitu dirinya,” ucapnya dalam buku tersebut.
Sutarmono akhirnya menjadi buruan Belanda, yang sampai mengerahkan helikopter untuk menemukannya. Dia berkali-kali harus tiarap dan bersembunyi di semak-semak untuk menghindari musuh dan terus berjalan meski kakinya hancur.
Setelah tiga hari, perjuangan Sutarmono akhirnya berbuah hasil. Dia dapat bertemu dengan kelompok kedua yang menyusulnya yakni KU I Supardi.
(Rahman Asmardika)