Restu Respati, pemerhati sejarah Malang menyatakan, ia mencoba mendatangi lokasi dan memeriksa benda yang awalnya diduga merupakan benda cagar budaya dan memiliki sejarah. Mengingat kekhawatirannya jika pelaksana proyek tidak memahami arti pentingnya objek tersebut bagi kesejarahan, maka musnahlah bukti penting tersebut.
"Benar dugaan kami, pelaksana proyek mengaku tidak mengetahui akan keberadaan objek tersebut Setelah kami jelaskan barulah kami bersama-sama mencarinya. Berdasarkan foto lama yang kami pegang, kami tahu titik lokasi yang harus kami tuju. Untung saja objek tersebut masih ada, meskipun beberapa dalam kondisi cacat karena terkena backhoe," ucap Restu sebagaimana keterangan yang diterima, pada Selasa 4 Juli 2023.
Dari keterangan yang terdapat pada ketiga objek tersebut, ia menduga bahwa objek tersebut merupakan monumen untuk mengenang tiga nama yang tertera pada objek tersebut, yaitu Bapak Tonko, Johan, dan Jan, yang merupakan bagian dari salah satu keluarga tentara KNIL. "Terlebih pada Objek 1 yang bertuliskan “Malang In Memory Of” yang dapat diartikan Malang Untuk Mengenang," kata dia kembali.
Pengamat dan Peneliti Sejarah Tjahjana Indra Kusuma memastikan berdasarkan sejumlah bukti-bukti sejarah yang ditemukannya menyebut bila bebatuan itu bukanlah merupakan benda cagar budaya dan berkaitan dengan sejarah. Mengingat bebatuan itu dipasang baru Februari 2016 oleh instansi yang mengelola ruang publik dan taman dalam hal Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
"Batu andesit dibuat 2016 kaitan sejarah ini ya sebagai elemen pelengkapnya, tidak berhubungan dengan nilai-nilai sejarah lingkungan kawasan," ucap Indra sambil menunjukkan bukti bebatuan tersebut.
Indra berujar bila, bebatuan itu diberikan oleh sebuah keluarga dari Indonesia bagian timur yang ayahnya pernah bertugas di Malang sebagai pasukan KNIL. Sosoknya disebut Indra bernama Tonko Oosterhuis, dengan pangkat terakhir saat bertugas di Malang yakni Letnan Muda.
"Dia itu tentara KNIL yang dinas terakhir di Batalyon Infantri 8, di Rampal. Ini KNIL sejak muda tahun 21 memulai dinasnya di Kalabahi, Kepulauan Alor. Kemudian mutasi ke Waingapu, kemudian ke Cimahi, habis itu ke Surabaya, ditempatkan ke Samarinda, terakhir ditempatkan di Malang sampai invasi Jepang, meninggal di Ambon, korban kena romusha," jelasnya.