JAKARTA – Peringatan malam 1 Suro atau 1 Muharram identik dengan kirab kebo bule Keraton Solo. Kebo atau kerbau dengan warna kulit putih agak kemerahan ini dikirab dari kandangnya menuju Keraton Solo.
Kebo ini juga diyakini merupakan pengawal pusaka Kyai Slamet. Julukan ini didasarkan karena kebo itu kerap mengawal pusaka keraton bernama Kyai Slamet.
Masyarakat luas banyak yang tak sabar menunggu kirab kebo bule ini. Kebo-kebo ini berderet di sepanjang jalan hingga Keraton Solo karena meyakini akan mendapat berkah saat menyaksikan kirab kebo bule.
Biasanya, kawanan kebo bule akan berada di barisan terdepan, mengawal pusaka Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem Keraton Solo. Dikutip laman keraton.perpusnas.go.id, kebo bule milik Keraton Solo diyakini bukan sembarang kerbau.
Kebo bule termasuk salah satu pusaka penting milik keraton. Dalam buku ‘Babad Solo’ karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan dan kesayangan Paku Buwono II. Saat itu istana Paku Buwono II masih di Keraton Kartasura, sekitar 10 kilometer arah barat Keraton Solo saat ini.
Bule Kebo bule klangenan atau peliharaan khusus kesayangan Keraton Solo ini sangat dikenal masyarakat Kota Batik dan sekitarnya.
Seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri Setiap malam 1 Suro (penanggalan Jawa), atau malam 1 Muharam menurut kalender Hijriah, kawanan kebo bule ini dikirab di jalanan Kota Solo.
Kebo bule ini menjadi cucuk lampah (pembuka jalan) kirab sejumlah pusaka keraton. Ritual kirab malam 1 Suro tergantung kemauan dari kerbau Kyai Slamet. Sebab, kebo baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00 WIB. Kirab pusaka ini sangat tergantung pada kebo bule Kyai Slamet. Biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandang yang berada di Alun-Alun Selatan menuju halaman Keraton Solo.
Menurut pujangga kenamaan Keraton Solo, Yosodipuro, leluhur kebo bule merupakan hadiah dari Kiai Hasan Beshari daru Tegalsari, Ponorogo kepada Paku Buwono (PB) II. Hadiah itu diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet. Saat itu, PB II pulang dari mengungsi di Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Keraton Kartasura. Sampai sekarang pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet.
Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru pada 1725, leluhur kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton. Hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Solo atau sekitar 500 meter arah selatan Balai Kota Solo saat ini. Kawanan kebo bule Keraton Solo memiliki banyak keunikan.
Dikutip Sindonews, sejak dulu kawanan kebo bule ini, sering berkelana ke tempat-tempat jauh untuk mencari makan tanpa diikuti abdi dalem yang bertugas menggembalakannya. Kawanan kebo ini sering jalan berkelana sampai ke Cilacap yang jaraknya lebih 100 kilometer dari Solo, atau Madiun di Jawa Timur. Namun anehnya, menjelang Tahun Baru Jawa, yakni 1 Suro atau 1 Hijriyah, mereka akan kembali ke keraton karena akan mengikuti ritual kirab pusaka.
Sebagian masyarakat Jawa yakin bahwa perubahan tahun Jawa (1 Suro) menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis Jawa, terutama kehidupan masyarakat agraris. Peran kebo bule Kyai Slamet adalah sebagai simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Kebo bule ini dinilai sebagai sebuah visi raja.
Secara harfiah, visi Keraton Solo yaitu ingin mewujudkan keselamatan, kemakmuran, dan rasa aman bagi masyarakatnya. Kepala Sasono Pustoko Keraton Solo Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger menyebut, kirab pusaka dan kebo bule sebenarnya berakar pada tradisi sebelum munculnya Kerajaan Mataram (Islam), pada prosesi ritual wilujengan nagari.
Pusaka dan kerbau merupakan simbol keselamatan. Pada awal masa Kerajaan Mataram, pusaka dan kerbau yang sama-sama dinamai Kyai Slamet, hanya dikeluarkan dalam kondisi darurat, yakni saat pageblug (wabah penyakit) dan bencana alam. Pusaka dan kerbau ini diharapkan memberi kekuatan kepada masyarakat.
Dengan ritual kirab, Tuhan akan memberi keselamatan dan kekuatan, seperti halnya Ia memberi kekuatan kepada pusaka yang dipercaya masyarakat Jawa memiliki kekuatan. Sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Sudarmono menyebut, selain dekat dengan kehidupan petani, sosok kebo memang banyak mewarnai sejarah kerajaan di Jawa.
Semasa Kerajaan Demak, seekor kebo bernama Kebo Marcuet mengamuk dan tak ada satu prajurit yang bisa mengalahkan. Karena meresahkan, kerajaan menggelar sayembara barang siapa mampu mengalahkannya akan diangkat menjadi senopati. Secara mengejutkan, Jaka Tingkir atau Mas Karebet mampu mengalahkan Kebo Marcuet dengan tongkatnya.
Mas Karebet kemudian mempersunting putri Raja Demak Sultan Trenggono, dan akhirnya mengambil alih kekuasaan. Jaka Tingkir sebenarnya keturunan Kebo Kenongo, Raja Pengging Hindu yang dikalahkan Kerajaan Demak.
Pemindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang yang dekat Pengging adalah upaya Joko Tingkir mengembalikan pengaruh kekuasaan kerajaan ke pedalaman yang sarat tradisi agraris. Dari sejarah itu, kebo selalu dijadikan alat melegitimasi kekuasaan kerajaan. Dalam budaya agraris, kerbau simbolisasi kekuatan petani. Sosok kebo dihadirkan dalam kirab yang diikuti abdi dalem dan rakyat yang sebenarnya ingin menunjukkan legitimasi keraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani.
Dalam pendekatan periodisasi sejarah, sosok kebo bule ditengarai hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada abad XVII. Kemunculan kebo bule Kyai Slamet dalam kirab adalah perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan binatang).
(Susi Susanti)