LUMAJANG - Wilayah Lumajang, Jawa Timur ternyata menyimpan jejak masyarakat Mataram Islam. Setidaknya secara etimologi atau bahasa, jejak Mataram Islam bisa dijumpai di Desa Kedungrejo, Kecamatan Rowokangkung.
Sebab selama ini Lumajang bersama Jember, Pasuruan, Situbondo, Probolinggo, dan Banyuwangi lebih dikenal sebagai kawasan tapal kuda atau The Eastern Salient of Java alias De Oosthoek.
Sebutan tapal kuda yang sudah ada sejak masa kolonial Belanda itu merujuk pada bentuk peta bumi. Secara visual posisi kawasan itu memang berderet satu sama lain menyerupai bentuk ladam kuda.
Secara kultural, Lumajang yang terbagi 21 kecamatan juga disebut sebagai kawasan Pendalungan atau Pedulungan, yakni masyarakat dengan kebudayaan campuran suku Jawa dan Madura. Di sejumlah kecamatan di Lumajang, yakni misalnya Klakah, realitasnya memang banyak berdiam suku Madura.
Bahasa yang dipakai sehari-hari sebagian besar masyarakat Lumajang adalah bahasa arek atau arekan. Kata-kata diucapkan dengan tempo cepat, tegas, serta logat dengan tone yang relatif tinggi.
Irama itu serupa dengan dialek sebagian masyarakat Surabaya, Malang, Jombang, Mojokerto dan sekitarnya. Bagi yang tidak terbiasa mendengar, kerap disalahpahami sebagai ungkapan kegusaran, padahal tidak.
Untuk menanyakan sebuah kabar atau situasi yang sedang terjadi misalnya, warga Lumajang lebih memakai frasa “Yo opo”, bukan “ngopo” atau “piye” seperti yang digunakan masyarakat Mataraman (eks Karesidenan Kediri dan Madiun).
Menyebut kata makan dengan “mangan”, bukan “maem”. Memakai sebutan “cak” atau “cacak”, bukan “mas” atau “kang”. Sebagian besar warga Lumajang juga memakai diksi “arek”, bukan “bocah” untuk menyebut seseorang yang usianya lebih muda.
“Yo opo kabare rek?”, bukan “Piye kabare cah?”. Namun kebiasaan umum budaya arekan di Lumajang itu, ternyata tidak berlaku sepenuhnya di masyarakat Kedungrejo Kecamatan Rowokangkung. Warga Desa Kedungrejo selalu memakai sebutan bocah daripada arek.
BACA JUGA:
“Dari dulu di sini (Kedungrejo) masyarakat menyebut bocah, bukan arek,” tutur Gunawan (52) salah seorang warga Kedungrejo kepada MPI.
Banyak diksi di wilayah mataraman yang ditemukan di masyarakat Kedungrejo. Misalnya untuk mengungkapkan kebosanan, warga Kedungrejo memakai diksi “waleh” yang biasa dipakai masyarakat Kediri atau Blitar.
Mereka tidak menggunakan kata “bosen” yang biasa dipakai masyarakat Lumajang dan arekan pada umumnya. Begitu juga untuk ungkapan penolakan, lebih memilih diksi “wegah” atau “emoh”, bukan “nggak” atau “ndak”.
Setahu Gunawan, banyak leluhur Desa Kedungrejo yang berasal dari wilayah mataraman, yakni eks karesidenan Kediri. Buyut Gunawan sendiri berasal dari wilayah Kabupaten Nganjuk dan Trenggalek.
BACA JUGA:
Dari berbagai sumber yang dihimpun, mereka hijrah ke wilayah Lumajang pasca meletusnya Perang Jawa (1825-1830) atau Perang Diponegoro. Selain Desa Kedungrejo, tipikal masyarakat mataraman juga dijumpai di Desa Sidorejo, dan Desa Rowokangkung sendiri.
Bahasa mataraman, kata Gunawan tetap memiliki ruang sosialnya sendiri. Diksi dan dialek mataraman di Kedungrejo bertahan seiring berkembangnya bahasa Jawa arekan dan Madura.
“Kalau leluhur saya dari garis ayah berasal dari Nganjuk. Sedangkan dari garis ibu berasal dari Trenggalek,” ungkapnya.
Dari penggalian data lebih jauh, sebagian besar leluhur mereka yang hijrah ke Lumajang berasal dari brang kulon, yakni untuk menyebut wilayah Solo dan Yogyakarta.
Di sejumlah pekarangan rumah warga di Kedungrejo juga tumbuh pohon sawo kecik. Seperti diketahui adanya pohon sawo kecik kerap diyakini sebagai penanda jejak laskar Diponegoro.
Lantas apa yang mendorong mereka memilih Lumajang sebagai tempat hijrah? Gunawan mengaku tidak tahu pasti. Namun spekulasi yang bisa diambil adalah mereka ditengarai terdampak langsung Perang Diponegoro.
Adapun pemilihan Rowokangkung yang secara administrasi terbagi atas tujuh desa diyakini karena merupakan dataran rendah, yakni sebagian besar cara produksinya dengan beragraris.
Sebagian besar bercocok tanam di sawah dan beternak. Hingga kini, wilayah Rowokangkung merupakan salah satu basis pertanian yang besar di Kabupaten Lumajang.
“Mungkin itu sama dengan cara produksi mereka saat masih berada di brang kulon, yakni sebagai petani dan peternak,” pungkas Gunawan.
Tidak hanya soal jejak Mataraman di Lumajang. Lebih jauh, adanya jejak Mataraman bisa menjadi brand image baru bagi Lumajang yang selama ini populer sebagai kawasan yang “menakutkan”, yakni utamanya bagi mereka yang berdomisili di luar Lumajang.
Bagi pandangan orang luar, Lumajang lebih dikenal sebagai kawasan dengan kebudayaan yang keras dan kasar, di mana kasus kekerasan dan kejahatan jalanan kerap terjadi di masyarakat.
Anjar, salah seorang warga Blitar yang beristri warga Lumajang mengatakan citra negatif itu harus diubah secara nyata. Sebab hal itu terkait dengan percepatan pembangunan daerah. Seperti halnya Banyuwangi yang mampu melepaskan diri dari image santet atau black magic.
“Lepasnya citra negatif itu membuat percepatan pembangunan daerah bisa dilakukan lebih mudah. Di Lumajang pintu masuknya bisa melalui adanya jejak Mataraman yang dikenal memiliki kebudayaan yang halus,” ungkapnya.
(Fakhrizal Fakhri )