Penggunaan amunisi uranium terdeplesi (depleted uranium) telah diperdebatkan dengan sengit, dengan penentang seperti International Coalition to Ban Uranium Weapons mengatakan ada risiko kesehatan yang berbahaya dari menelan atau menghirup debu depleted uranium, termasuk kanker dan cacat lahir.
Sebagai produk sampingan dari pengayaan uranium, depleted uranium digunakan untuk amunisi karena kepadatan ekstrimnya memberikan peluru kemampuan untuk dengan mudah menembus lapisan baja dan terbakar sendiri dalam awan debu dan logam yang membakar.
Meskipun depleted uranium bersifat radioaktif, namun kandungannya jauh lebih sedikit dibandingkan uranium yang dihasilkan secara alami, meskipun partikel-partikelnya dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Amerika Serikat menggunakan amunisi depleted uranium dalam jumlah besar pada Perang Teluk 1990 dan 2003 serta pemboman NATO di bekas Yugoslavia pada 1999.
Pengawas nuklir PBB, Badan Energi Atom Internasional, mengatakan bahwa penelitian di bekas Yugoslavia, Kuwait, Irak dan Lebanon "menunjukkan bahwa keberadaan residu uranium yang tersebar di lingkungan tidak menimbulkan bahaya radiologis bagi penduduk di wilayah yang terkena dampak. "