Ketika sanksi ditingkatkan, Korea Utara menjadi semakin bergantung pada Tiongkok untuk menutup mata terhadap mereka yang melanggar sanksi dan memberikan bantuan pangan. Selama setahun terakhir, Beijing menolak menghukum Korea Utara atas uji coba senjatanya di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang berarti negara tersebut mampu mengembangkan persenjataan nuklirnya tanpa konsekuensi serius.
Korea Utara memberi Beijing zona penyangga yang berguna antara dirinya dan pasukan AS yang ditempatkan di Korea Selatan, yang berarti mereka harus menjaga Pyongyang tetap bertahan.
Namun Pyongyang selalu merasa tidak nyaman karena terlalu bergantung pada Tiongkok saja. Dengan Rusia yang sedang mencari sekutu, hal ini memberi Kim kesempatan untuk mendiversifikasi jaringan dukungannya.
Dan dengan putus asanya Rusia, pemimpin Korea Utara mungkin merasa dia bisa mendapatkan konsesi yang lebih besar dari Moskow dibandingkan dengan Beijing. Putin mungkin akan setuju untuk tetap diam ketika menghadapi uji coba nuklir Korea Utara, padahal hal ini bisa jadi merupakan langkah yang terlalu jauh bagi Presiden Tiongkok Xi Jinping.
“Selama Perang Dingin, Korea Utara mempermainkan Rusia dan Tiongkok, sangat mirip dengan bagaimana anak-anak mempermainkan orang tua satu sama lain,” kata Dr Bernard Loo dari S Rajaratnam School of International Studies di Singapura.
Namun masih ada tanda tanya apakah pertemuan itu akan dilanjutkan.