BENGKULU - Mentari pagi mengiringi langkah pria 29 tahun menuju areal perkebunan tanaman aren di daerah tempat tinggalnya. Rutinitas itu sudah menjadi bagian hidup dari pria berusia seperempat abad lebih tersebut.
Mengenakan kostum kaos lengan panjang dipadu celana pendek dengan topi di atas kepala serta golok terikat melingkar dipinggang dan dilapisi sepatu terbuat dari karet membungkus kaki hingga di bawah lutut, ia mulai melintasi jalan setapak.
Perjalanan saban hari itu dia lakukan untuk menuju ke areal perkebunan tanaman enau di bawah kaki Bukit Hitam, memunggungi rumahnya. Pekerjaan ini sudah ia lakoni selama 7 tahun, penderes air nira.

Dibekali dua buah jerigen kosong 5 liter dan satu buah jerigen ukuran 10 liter yang menggelantung pada tangan sebelah kiri dan kanan. Dia berkeyakinan jika jerigen itu terisi penuh air nira dari tanaman pohon aren miliknya.
Pepohonan tanaman enau setinggi 20 hingga 25 meter, tampak melenggang ke kiri dan kanan ketika diterpa tiupan angin tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap mengambil bahan baku gula merah dari pohon pelindung tersebut.
Tak ada satu pun pengamanan menempel di badan pria bertubuh kurus itu. Kehati-hatian dia utamakan ketika menaiki tangga terbuat dari bambu untuk mencapai bagian atas pohon. Pria berkulit gelap ini rela bertaruh nyawa demi mendapatkan air nira.
Rasa lelah dan takut sudah dikubur pria berkulit gelap itu. Keberanian, kesabaran dan ketekunan melekat erat disanubari bapak satu orang anak ini. Semuanya untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan satu anaknya.
Hasil penyadapan tanaman aren dengan menoreh mayang/tandan dari cairan nira yang menetes ke bumbung penampung pada bagian bawah tongkol inilah dia bisa menyekolahkan anak pertamanya.
Ia menghabiskan waktu berhari-hari untuk mendapatkan cairan nira di lahan seluas sekira 1 hektare miliknya, dengan memanjat sebanyak 30 pohon tanaman enau. Dia optimis bumbung penampung pohon aren di desa kopi tangguh iklim ini terisi tetesan air nira.
Pendi Prasetyo begitu sapaannya. Dia merupakan satu dari belasan pria seusianya yang menjadi penderes air nira. Kebiasaan itu warisan turun temurun dari nenek moyang mereka.
Sejak dini, pria kelahiran 1994 ini sudah belajar dari orangtuanya. Termasuk sistem agroforestri di areal lahan perkebunan miliknya di Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang.
Di atas lahannya. Suami Susanti (27) ini menanami pohon pelindung. Seperti Enau, Durian, Jeruk, Jambu dan Alpokat. Langkah itu guna menjaga keseimbangan ekosistem, meningkatkan kualitas tanah, serta memberikan sumber pangan dan kayu.
Bapak dari satu orang anak itu berpikir lahan dengan tanaman berkayu memiliki peran penting dalam menjaga sumber daya alam. Sebab mampu mencegah atau mengurangi bahaya banjir, serta mengontrol erosi tanah.
''Rerata 1 pohon aren menghasilkan 7 hingga 8 liter cairan nira. Tujuh liter air nira menghasilkan 1 Kilogram gula merah aren padat. Penghasilan ini bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari,'' kata Pendi, Senin 28 Agustus 2023.