Upaya mitigasi pemanasan global, dia bersama istrinya mengedukasi anak pertamanya yang masih duduk dibangku kelas I Sekolah Dasar (SD), M Akbar Alhafizi (7). Pendi mewarisi pengetahuan dari orangtuanya tentang metode good agricultural practices (GAP).
Penyerapan karbon, menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah, kualitas udara, air, konservasi keanekaragaman hayati merupakan mitigasi perubahan iklim. Anaknya diberi kesempatan menjaga pohon pelindung yang ditanam sebagai tabungan masa depan.
''Secara perlahan diajarkan menanam pohon di areal kebun. Nanti hasil tanaman pohon itu untuk tabungan masa depan, bisa untuk biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lain ketika sudah dewasa,'' jelas suami Susanti yang merupakan anggota Kelompok Perempuan Alam Lestari dan Sejahtera (KPALS).
Keluarga Sadar Iklim
Sebagian besar petani di daerah yang dihuni 754 jiwa dengan 342 kepala keluarga (KK) itu telah mengembangkan agroforestri secara turun menurun. Amelia Kontesa, misalnya. Perempuan 34 tahun ini menanam areal kebun kopinya dengan tanaman hutan.
Di atas lahan 1 Ha miliknya itu ditanami pohon Aren, Alpokat, Durian, Pinang dan Jengkol. Metode tersebut dia peroleh dari orangtuanya. Jauh sebelum aksi nasional mitigasi perubahan iklim digencarkan pemerintah.
Dari orangtuanya. Istri Irianto (35) ini mengantisipasi ketika tidak memasuki musim kopi guna memenuhi kebutuhan hidup. Baginya tanaman hutan itu bisa menyerap karbon, menciptakan iklim mikro lebih kondusif bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Tingginya motivasi perempuan dalam mengembangkan agroforestri mereka membentuk Kelompok Perempuan Alam Lestari dan Sejahtera. Hal itu untuk pemulihan ekosistem di daerahnya.
Kelompok itu dinahkodai Amelia Kontesa. Dia bersama anggotanya menanam sayur-mayur, tanaman obat-obatan hingga rempah-rempah didekat pondok kebun masing-masing. Tanaman itu menjadi salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan mendongkrak perekonomian keluarga.
''Metode menanam pohon hutan ini dari orangtua. Itu sebagai antisipasi ketika tidak musim kopi. Jadi tanaman hutan ini bisa dimanfaatkan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari untuk keluarga,'' jelas perempuan berkulit sawo matang ini.
Dalam menjalankan aktivitasnya. Kelompok beranggotakan 41 orang tersebut melibatkan anak dalam menanam pohon. Tidak kurang dari 60 orang anak ikut andil. Ini salah satu bentuk membangun keluarga sadar iklim untuk menghalau pemanasan global. Mereka sadar hak anak penting. Pendidikan, contohnya.
Mitigasi perubahan iklim dengan melibatkan anak sejak dini sudah selayaknya diajarkan. Keterlibatan tersebut untuk dijadikan tabungan pendidikan anak hingga jenjang pendidikan paling tinggi. Bahkan hingga anaknya membina batera rumah tangga.
Sebelumnya. Anak mereka ditanyakan pohon apa yang akan ditanam di areal kebun milik orangtuanya. Tujuannya tanaman hutan itu bisa mereka jaga dan rawat hingga besar serta menghasilkan rupiah.
''Kami menanyakan pada anak pohon apa yang akan ditanam di kebun. Jadi tanaman itu kita minta dia jaga dan rawat agar hasil dari tanaman itu bisa menjadi tabungan untuk pendidikan,'' sampai perempuan 34 tahun itu.
Revitalisasi Kearifan Lokal
Tidak hanya anak. Kaum pria di desa yang berbatasan langsung dengan TWA Bukit Kaba itu ikut terlibat dalam mitigasi pemanasan global. Mereka menanam pohon hutan untuk dijadikan pemenuhan biaya kesehatan bagi anggota keluarga mereka.
Tanamannya mulai dari Enau, Jengkol, Alpokat, Petai, dan Durian. Keterlibatan itu tidak lain dalam rangka upaya meningkatkan perekonomian keluarga anggota kelompok perempuan.
''Dari beberapa pohon yang ditanam itu untuk biaya kesehatan keluarga,'' jelas ibu dari dua orang anak ini.
Selama ini perempuan tidak memilik hak dalam menentukan jenis tanaman di areal perkebunan. Sejak terbentuknya kelompok perempuan di daerah kaki Bukit Hitam tersebut mereka diberikan hak menentukan jenis tanaman.
Hak dan kepentingan ini merupakan peran perempuan yang dilihat dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Sehingga mereka dapat membuat keputusan jenis tanaman hutan, hak pengelolaan kebun serta pemanfaatan.
''Selama ini perempuan tidak memiliki hak. Namun sekarang perempuan bisa membuat keputusan dalam menentukan jenis tanaman hutan di kebun. Apa yang kami lakukan ini merupakan merevitalisasi kearifan lokal peninggalan zaman dahulu,'' ujar Amelia.
Desa Kopi Tangguh Iklim
Pemanasan global mulai dirasakan kalangan petani kopi di daerah ini. Dampak negatif perubahan iklim memunculkan hama dan penyakit baru. Sehingga membuat tanaman kopi gagal panen hingga mati.
Sosok perempuan 47 tahun ini menyaksikan dan merasakan dampak dari perubahan lingkungan di daerahnya. Supartina Paksi, namanya. Dia lahir dan besar di desa yang berbatasan TWA Bukit Kaba.
Menurunnya produktivitas dan kualitas buah kopi di areal perkebunan tersebut menjadikan intropeksi bagi kaum perempuan. Mereka mendeklarasikan Desa Kopi Tangguh Iklim, Jumat 28 Januari 2020. Diprakasai Kelompok Perempuan Alam Lestari (PAL).
Pentingnya deklarasi lantaran kopi menjadi sumber pendapatan utama di desa tersebut. Sebab. Tidak kurang dari 85 persen penduduk daerah itu berkebun kopi sejak turun temurun.
Bagi mereka kopi menjadi bagian kehidupan sosial dan budaya. Untuk itu 20 perempuan yang tergabung di dalam Kelompok PAL dan Kelompok Perempuan Alam Lestari dan Sejahtera tetap menjaga kelestarian hutan dengan mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim.
Salah satu inisiatifnya. Menerapkan agroforestri di wilayah mereka. Keterlibatan perempuan sangat penting dalam potensi tanaman hutan di areal kebun sebagai tabungan masa depan. Terlebih hasil tanaman pohon pelindung memiliki nilai ekonomi tinggi.
Keeratan hubungan perempuan dan kopi di daerah ini terlihat dari peranan kelompok perempuan dalam pembibitan, penanaman, perawatan, pemanenan, pengolahan paska panen hingga pemasaran.
''Perempuan harus bergerak dalam menghadapi perubahan iklim. Langkah awalnya dengan mendeklarasikan Desa Kopi Tangguh Iklim,'' kata Ketua Kelompok PAL, Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, Supartina Paksi (47).
Deklarasi Desa Kopi Tangguh Iklim berisikan tiga poin:
1. Kami perempuan Desa Batu Ampar menyadari bahwa perubahan iklim telah berdampak negatif terhadap tanaman kopi yang merupakan bagian dari kehidupan ekonomi, sosial, budaya masyarakat Desa Batu Ampar.
2. Kami menyadari bila masalah perubahan iklim tidak segera ditanggulangi akan mengakibatkan krisis dalam segala aspek kehidupan masyarakat Desa Batu Ampar.
3. Kami berinisiatif melakukan berbagai hal untuk menanggulangi perubahan iklim guna menjaga keberlanjutan tanaman kopi dan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Desa Batu Ampar.
Membangun Kemitraan Konservasi
Desa Batu Ampar. Satu dari 35 desa yang berbatasan dengan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Bukit Kaba. Luasanya 14.650,51 Ha secara geografis berada dikawasan Kabupaten Kepahiang dan Kabupaten Rejang Lebong.
Tidak kurang dari 6000 Ha areal telah menjadi kebun akibat okupasi hutan yang dikelola masyarakat desa penyangga. Berangkat dari kondisi itu Balai Konsrvasi Sumber Daya ALam (KSDA), Bengkulu - Lampung, membangun kemitraan konservasi.
Di mana 3 desa di Kabupaten Rejang Lebong dan Kepahiang membentuk 9 kelompok tani hutan (KTH). Mereka sepakat memulihkan kembali ekosistem di kawasan TWA Bukit Kaba, dengan tanaman Multi Purpose Tree Species (MPTS).
Tanaman kekayuan bersifat multiguna ini ditanam di atas lahan seluas 200,1 Ha di Kabupaten Kepahiang, melibatkan 4 KTH dan 306 Ha di Kabupaten Rejang Lebong, dengan melibatkan 5 KTH.
Di Desa Batu Ampar. Kelompok Perempuan Alam Lestari dan Sejahtera membangun kemitraan konservasi. Usulannya 36,769 Ha. Di areal tersebut masyarakat sepakat menghutankan kembali kawasan dengan tanaman kayu-kayuan yang memiliki nilai ekonomis.
Tidak hanya itu. Kesepakatan ini juga dipertegas Balai KSDA bersama masyarakat desa penyanggah untuk tidak memperluas lahan di atas lima tahun atau garapan yang telah dibuka di dalam kawasan TWA Bukit Kaba.
''Ini bermanfaat dari segi ekologi maupun dari segi ekonomi, menghasilkan komoditas kayu dan nonkayu. Petani bisa memanfaatkan komoditas nir-kayu dari tanaman MPTS yang ditanam tanpa melakukan penebangan pohon,'' jelas Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai (KSDA) Bengkulu-Lampung, Said Jauhari, Senin 4 September 2023.
Ketahanan Pangan
Mitigasi pemanasan global di desa berpenduduk 754 jiwa ini melibatkan seluruh lapisan masyarakat melalui edukasi. Perubahan iklim menjadi salah satu prioritas di daerah yang didiami 342 kepala keluarga (KK) tersebut.
Upaya dari pemerintah desa itu melalui aksi nyata. Pola tanam campuran atau polikultur. Usaha pertanian yang membudidayakan berbagai jenis tanaman pertanian pada lahan di kebun kopi atau agroforestri.
Daerah yang memiliki perkebunan kopi di areal penggunaan lain (APL) seluas 275 Ha ini juga memberikan edukasi untuk anak sejak dini dan tak terlepas dari keterlibatan perempuan dalam mitigasi perubahan iklim.
Untuk itu. Pengembangan ekonomi berbasis lingkungan dengan olahan Rebung Bambu, Aren, Kopi Semang, Kecombrang pun diterapkan. Tujuannya membangun ketergantungan hidup kepada kelestarian alam dengan harapan Bambu, Aren, Kecombrang dapat tetap lestari.
''Membangun ketahanan pangan yang sesuai dengan kebijakan kopi tangguh iklim. Budidaya Talas di kebun kopi, pengembangan desa wisata. Ini salah satu bagian dari strategi mitigasi. Harapannya peningkatan ekonomi tidak hanya bergantung pada lahan,'' sampai Kepala Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, Harwan Iskandar, Senin 4 September 2023.
Mitigasi Berperspektif Anak
Pemanasan global menjadi perhatian serius dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bengkulu. Upaya mitigasi ini melalui pembuatan peta wilayah rawan bencana, pembuatan bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau dan penghijau hutan.
Tak hanya itu. Lembaga pemerintah non-departemen bermotto Salam Tangguh Salam Kemanusiaan ini ikut memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana.
Pentingnya mitigasi bencana dalam perubahan iklim juga memberikan edukasi dikalangan pelajar. Hak anak mendapatkan pendidikan bencana, misalnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprogramkan Sekolah Aman Bencana.
Sekretaris BPBD Provinsi Bengkulu, Khristian Hermansyah mencontohkan, pendidikan mitigasi bencana di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Model Kota Bengkulu. Di sekolah itu telah membentuk Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) Mitigasi berperspektif anak.
''Sebelum istilah Satuan Pendidikan Aman Bencana, BNPB sudah memprogram Sekolah Aman Bencana. Sosialisasi di sekolah dengan melibatkan guru dan siswa/i. Tenaga pendidik dan pelajar diedukasi menentukan jalur evakuasi, titik kumpul dan membuat Standar Operasional Prosedur sederhana,'' jelas Khristian, Selasa 5 September 2023.
Sekolah Lapang Iklim
Dampak pemanasan global mulai dirasakan. Kondisi itu ditandai pergeseran musim dan peningkatan suhu. Tahun 1990-an musim penghujan dibulan September hingga Desember. Namun ditahun 2020-an musim penghujan bergeser bulan Februari hingga April.
''Perubahan iklim mengakibatkan pergeseran musim. Sehingga prediksi iklim makin sulit, curah hujan makin lebat/ekstrim. Ini dapat mengakibatkan bencana hidrometeorologi dan terjadi pergeseran musim,'' kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kelas I Pulau Baai, Bengkulu, Klaus Johannes Apoh Damanik, Rabu 6 September 2023.
BMKG Bengkulu menyebut kenaikan suhu 30 tahun terakhir terhitung 1994-2023 di daerah ini tidak terlalu tinggi. Kenaikan minimum suhu rerata 0,0023 derajat celcius dan maksimum rerata 0,0024 derajat celcius.
''Dampaknya sudah terasa. Kenaikan suhu tersebut disebabkan pemanasan global,'' jelas Damanik.
Mitigasi pemanasan global tentu menjadi perhatian bersama. BMKG Bengkulu dalam kurun waktu 3 tahun terakhir terhitung sejak 2020 hingga 2023 melaksanakan Sekolah Lapang Iklim (SLI).
Kegiatan itu berupa literasi iklim untuk mendukung ketahanan pangan, dalam rangka adaptasi perubahan iklim dengan berkolaborasi bersama Kementerian Pertanian, Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP), Pemerintah Daerah dan petani.
Adaptasi tersebut sebagai upaya meningkatkan pemahaman petani dan petugas penyuluh pertanian, terhadap data dan informasi iklim yang dapat langsung diaplikasikan pada aktivitas pertanian.
''Kita menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat. Jika tidak ada upaya mengurangi maka pemanasan global akan terus dirasakan,'' ujar Damanik.
SLI tersebut melibatkan petani di 4 desa. Seperti Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang, tahun 2020. Tahun 2021 di Desa Sumber Agung, Kecamatan Arma Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara. Di Desa Sari Mulyo Bukit Peninjauan 2 Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma, tahun 2022.
Terakhir. Di Desa Masmambang, Kecamatan Talo, Kabupaten Seluma, di tahun 2023. Sejak Juni hingga September 2023, petani di Desa Masmambang mengikuti SLI dengan menanam padi di atas lahan 2 Ha. Dikelola 30 orang tergabung di 5 kelompok tani.
''Pengelolaan lahan sawah ramah lingkungan. Mereka menggunakan pupuk organik dan pestisida nabati,'' imbuh Damanik.
Petani yang tersebar di 3 kabupaten tersebut diberikan edukasi cara mengurangi penggunaan karbon dengan pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan. Salah satunya mengurangi pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik dan pupuk pestisida nabati.
Damanik mencontohkan penggunaan pupuk kimia itu petani berikan solusi atau alternatif dengan mengelola limbah kopi menjadi pupuk. Seperti petani kopi di Desa Batu Ampar, Kecamatan Merigi, Kabupaten Kepahiang.
''Harapannya secara berangsur petani bisa beralih ke pupuk organik dan pestisida nabati. Tentu ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat,'' sampai Damanik.
Anak-anak Kelompok Paling Rentan Terdampak
Perubahan iklim secara general diprediksi terjadi karena kenaikan temperatur. Hal ini disebabkan peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2. Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfir menyebabkan variasi dalam temperatur, baik di darat maupun di laut secara tidak normal. Bahkan tren waktu musim yang abnormal, pola hujan dan lainnya.
Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Yansen menjelaskan peningkatan GRK akibat aktivitas manusia atau dikenal Anthroppgenic GRK di atmosfir yang dapat menyebabkan abnormalitas iklim tersebut.
Di samping aktivitas manusia, jelas Yansen, juga mengubah landskap penggunaan lahan. Seperti berkurangnya tutupan hutan (vegetasi) yang dapat berkontribusi pada perubahan cuaca pada level lokal atau mempengaruhi siklus hidrologi.
''Secara scientific ya, bahwa perubahan iklim dapat meningkatkan probabilitas peningkatan bencana alam,'' kata Yansen, Minggu 10 September 2023.
Perubahan iklim dapat meningkatkan temperatur jika terjadi peningkatan pencairan es di kutub. Di mana perubahan permukaan laut akan mengancam wilayah pesisir, termasuk hilangnya wilayah pesisir dan semakin meningkatnya instrusi air laut.
Lalu Abnormalitas variasi temperatur mungkin meningkatkan perubahan pola pengaturan iklim oleh laut yang dapat menyebabkan perubahan pola hujan. Kemudian perubahan iklim dapat meningkatkan kejadian cuaca ekstrim.
''Dalam skala yang lebih mikro perubahan tutupan landskap. Dengan semakin berkurangnya vegetasi juga mengubah siklus hidrologi. Ini dapat menyebabkan pola hidrologi berubah. Misalnya peningkatan hujan dengan intensitas tinggi dan ketidakmampuan tutupan lahan menahan air dan lain-lain,'' jelas Yansen.
Secara teoritis pemanasan global yang meningkatkan probabilitas kejadian cuaca ekstrim. Hal ini terjadi karena kemungkinan abnormalitas variasi suhu. Contohnya, merubah pola hujan. Sehingga ada daerah kelebihan hujan atau perpanjangan musim hujan.
Sebaliknya area lain mengalami kekeringan lebih panjang. Dampaknya? Hal ini tentu berbicara tingkat kerentanan. Setiap level masyarakat pasti akan merasakan dampak. Namun kerentanan bagi masyarakat dengan karakteristik berbeda akan berbeda.
''Karena itu masyarakat dengan kondisi ekonomi sosial rendah, tingkat kerentanan akan paling tinggi. Anak-anak juga merupakan kelompok paling rentan terdampak, dengan dampak yang kemungkinan lebih parah (severe),'' sampai Yansen.
Dua Langkah Mitigasi Emisi GRK
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu menyebut sumber emisi gas rumah kaca berasal dari sektor kehutanan, pertanian, industri penggunaan produk (IPPU), energi, transportasi, dan sektor limbah (limbah domestik dan limbah industri).
Sehingga DLHK Bengkulu berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui dua langkah. Seperti sektor kehutanan dan penggunaan lahan Forestry and Other Land Use (FoLU). Caranya melalui kegiatan peningkatan cadangan karbon (PCK).
Lalu program pemanfaatan potensi sumber daya hutan, program rehabilitasi hutan dan lahan, pencegahan penurunan cadangan karbon (PPCK), program perlindungan dan konservasi sumber daya hutan.
''Kegiatannya penghijauan lingkungan, pengembangan perbenihan tanaman hutan, penanaman pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penanaman dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), persemaian permanen dan pengadaan bibit/benih tanaman kehutanan,'' kata Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran, DLHK Provinsi Bengkulu, Yanmar Mahadi, Senin 11 September 2023.
Upaya lainnya. Disektor pengelolaan limbah. Melalui pengelolaan persampahan, limbah cair industri dan domestik. Pengelolaan limbah domestik ini dilakukan dengan cara pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), tempat pengelolaan sampah reuse-reduce-recycle (TPS3R) dan operasionalisasi bank sampah yang dikelola atau dibina pemerintah.
''Kegiatan untuk limbah cair industri dan limbah cair domestik pengelolaan secara aerob, baik itu untuk instalasi pengolahan air limbah (IPAL) kolam pengendapan untuk industri dan IPAL komunal untuk limbah cair domestik,'' jelas Yanmar.
Turunkan Emisi GRK 8,15 Juta Ton CO₂eq
Secara global Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 834 juta Ton CO₂e (29%) dengan usaha sendiri dan 1,08 miliar ton CO₂e (41%) jika mendapatkan bantuan internasional.
Berdasarkan laporan pemantauan pembangunan rendah karbon (PRK) tahun 2022, Provinsi Bengkulu mampu menurunkan emisi GRK sebesar 8,15 juta ton CO₂eq dari baseline emisi tahun 2022 sebesar 29,32 juta ton CO₂eq.
Pengurangan emisi tersebut sebagian disumbangkan dari kegiatan program kampung iklim (Proklim). Aksi mitigasi perubahn iklim di tingkat masyarakat di 9 kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu.
Proklim ini merupakan salah satu kegiatan DLHK Bengkulu yang telah berjalan selama 9 tahun sejak 2014 hingga 2023. Tidak kurang dari 59 desa/kelurahan telah terbentuk kampung iklim.
Pada tahun 2023 proklim tersebut berlangsung di 16 desa/kelurahan wilayah. Belasan daerah itu sudah teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menggalakkan advokasi GRK.
Di kampung iklim itu masyarakat diberikan edukasi tata cara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mulai dari gerakan penghijauan hutan, rehabilitasi, pengelolaan sampah serta lainnya.
''Proklim mampu menurunkan emisi sebesar 1.760 ton CO₂eq ini berdasarkan Sistem Registri Nasional (SRN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,'' ujar Yanmar.
Kader Lingkungan
Mitigasi pemanasan global juga dilakukan melalui kegiatan pengurangan sampah. DLHK Bengkulu memiliki program penyuluhan dan pendampingan kader lingkungan, dalam rangka pengelolaan sampah rumah tangga melibatkan masyarakat Kota Bengkulu di 50 kelurahan.
Mereka diberikan pembinaan dengan metode pilah pulih sampah. Program ini sudah berjalan sejak 2022 hingga 2023. Di tahun 2022 berlangsung di 25 lokasi dan tahun 2023 digelar di 28 lokasi.
Keterlibatan dalam pengelolaan sampah tersebut tidak hanya dari kalangan ibu rumah tangga. Namun kalangan pelajar dan mahasiswa pun diikutsertakan. Seperti pelajar SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
Hal ini merupakan salah satu antisipasi mengurangi nilai potensi kerugian akibat ancaman bahaya, kerentanan, dampak dan risiko perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat di wilayah terdampak. Seperti sektor pesisir, kesehatan, air dan pertanian.
Di mana tahun 2023 telah dilakukan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Kementerian PPN/BAPPENAS terkait pembangunan berketahanan iklim tujuannya meningkatkan ketahanan pada sektor terdampak.
''Masyarakat diberikan cara menciptakan pupuk organik dan kerajian tangan dari olahan sampah. Sebab 70 persen sampah organik berasal dari rumah tangga dan 30 persen sampah anorganik. Sampah itu dikelola sehingga bermanfaat,'' beber Yanmar.
Pilot Project Program DRPPA
Bengkulu menjadi pilot project program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Ini salah satu penekanan, percepatan, perwujudan kabupaten/kota layak anak (KLA).
DRPPA diterapkan didelapan desa dari tiga kabupaten di provinsi berjuluk Bumi Rafflesia ini. Sehingga terbentuk relawan Sahabat Perempuan Anak (SaPA) di tingkat desa.
Seperti di Kabupaten Bengkulu Utara di Desa Datar Ruyung, Kecamatan Kota Arga Makmur dan Desa Sidodadi, Kecamatan Arma Jaya. Lalu di Kabupaten Mukomuko di Desa Lubuk Sanai, Kecamatan XIV Koto dan Desa Sumber Mulyo, Kecamatan Penarik.
Sementara di Kabupaten Seluma terdapat empat desa percontohan di Kecamatan Sukaraja. Seperti di Desa Sari Mulyo, Desa Kuti Agung, Desa Sumber Makmur dan Desa Sidosari. Daerah ini mandiri dalam melaksanakan DRPPA.
''Program ini sudah berjalan sejak tahun 2022 hingga sekarang,'' kata Koordinator Bidang III, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Bengkulu, Tris Diani Fajar, Rabu 13 September 2023.
Adapun indikator DRPPA itu mulai dari adanya organisasi perempuan dan anak di desa, peraturan desa terkait pembentukan DRPPA, dana desa untuk kegiatan DRPPA dan tersusunnya data terpilah keterlibatan perempuan dalam perangkat desa.
Kemudian adanya pengasuhan anak yang baik dan benar, upaya pencegahan perkawinan usia anak, pencegahan terjadinya pekerja anak adanya kelompok ekonomi perempuan di desa, tidak ada lagi kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Tujuannya pembentukan DRPPA tersebut untuk meningkatkan peran dan pemberdayaan perempuan dalam ketahanan keluarga dan masyarakat, terlaksananya pemenuhan hak dan perlindungan serta hak berpartisipasi bagi anak.
''Jika sudah terwujud kabupaten/kota layak anak maka secara otomatis pemenuhan hak dan perlindungan anak sudah berjalan. Mengapa? Karena indikator kabupaten/kota layak anak itu adalah lima klaster pemenuhan hak dan perlindungan anak,'' jelas Tris.
Progam DRPPA tersebut merupakan salah satu mitigasi pencegahan yang tidak hanya fokus pada kekerasan dan pelecehan perempuan dan anak semata. Melainkan upaya mitigasi ketika terjadi bencana alam. Dampak pemanasan global, misalnya.
Kegiatan itu mereka diberikan sosialisasi berupa penyelamatan diri secara mandiri bagi anak saat terjadi bencana (protektif diri sendiri) serta langkah-langkah penyelamatan diri.
Untuk itu dalam penanganan dan pendampingan disaat bencana bersinergi dengan organisasi perangkat daerah (OPD)/lembaga sesuai tupoksi dan standar operasional prosedur (SOP) masing-masing.
''Saat terjadi bencana alam banjir misalnya. Kami menjalin kerjasama dengan BPBD untuk mendirikan posko/tenda khusus anak. Di tenda tersebut akan diisi kegiatan anak-anak bermain dan belajar,'' jelas Tris.
Pemenuhan hak anak ketika terjadi bencana sangat penting. Sebab ketika terjadi bencana anak menjadi golongan yang paling dan sangat menderita. Mulai dari beban psikis anak akan sangat berat, rasa ketakutan jika tidak ada penanganan dan pendampingan yang tepat maka berakibat permanen.
''Tujuannya menghilangkan beban psikologis anak yang terdampak bencana alam. Namun kegiatan tersebut disesuaikan dengan kondisi waktu dan situasi di daerah terdampak bencana alam,'' sambung Tris.
Berangkat dari itu Pemerintah Provinsi Bengkulu telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda), Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Dinas P3AP2KB mengakui belum adanya aturan spesifik dalam pemenuhan hak anak saat terjadi bencana.
''Memang belum ada aturan spesifik pemenuhan hak anak saat terjadi bencana. Kami sedang menggodok hal ini ke dalam peraturan gubernur. Namun itu telah tersurat dan tersirat di Perda Penyelenggaraan Perlindungan Anak,'' ujar Tris.
Jaminan Kesehatan untuk Anak
Indonesia termasuk dalam 50 negara teratas di dunia yang anak-anaknya paling berisiko terkena perubahan iklim dan degradasi lingkungan. Kondisi di atas berdasarkan laporan ‘The Climate Crisis Is a Child Rights Crisis: Introducing the Children’s Climate Risk Index’ diluncurkan United Nations Children's Fund (UNICEF) pada Agustus 2021.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu Herwan Antoni mengatakan, perubahan iklim sangat berdampak kepada anak-anak. Sebab anak-anak menjadi kelompok usia rentan terhadap penyakit dan lebih berisiko terjadi kematian dibanding orang dewasa akibat penyakit yang berhubungan dengan perubahan iklim.
Dampak pemanasan global, jelas Herwan, seperti suhu panas yang ekstrem berpotensi menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare. Selain itu, perubahan iklim juga dapat memicu bencana alam. Seperti kekeringan/kemarau dan banjir.
Hal ini tentu berdampak pada anak. Munculnya penyakit ISPA, dehidrasi, diare, typoid. Pengaruh ini cukup besar. Namun tergantung dengan pola asuh orang tua dan lingkungan tempat tinggal.
''Anak-anak belum bisa mandiri melakukan pola hidup sehat,'' kata Herwan, Kamis 14 September 2023.
Ditambahkan Ruslian, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu, pihaknya mencatat jumlah penderita ISPA usia 1 hingga 9 tahun se-Provinsi Bengkulu terhitung Januari hingga Agustus 2023 sebanyak 23.031 anak.
Ruslian menjelaskan perubahan iklim berkaitan dengan hak anak. Sebab ini dapat memicu krisis disektor air bersih, kesehatan, pendidikan. Sehingga pemanasan global ini mengancam kelangsungan hidup anak.
Hak anak, lanjut Ruslian, memang berkaitan dengan perubahan iklim. Di mana hak mendapatkan perlindungan, jaminan Kesehatan dan makanan. Untuk jaminan kesehatan Pemerintah Daerah memprogramkan kartu Bengkulu Sejahtera untuk Kesehatan.
''Ada jaminan kesehatan termasuk anak-anak,'' sampai Ruslian.
Pembangunan Rendah Karbon
Manajer Perluasan Keadilan Gender dan Iklim, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bengkulu, Puji Hendri Julita Sari menyebut, perubahan iklim semakin dirasakan jika luasan hutan terus berkurang. Dampaknya tidak dapat menyerap karbon.
''Perubahan hutan menjadi non-hutan menyumbang 48 persen emisi karbon (Forest Digest).
Berkurangnya luasan hutan secara signifikan disebabkan alih fungsi lahan secara massal. Baik untuk perkebunan skala besar maupun izin pertambangan,'' jelas Puji, Jumat 15 September 2023.
Berdasakan data yang dikantongi WALHI Bengkulu. Izin usaha pertambangan (IUP) aktif pada 2022 di Bengkulu, luasannya 80 ribu Ha dengan pemegang izin 50 perusahaan. Namun alokasinya mencapai 186 Ha. Ini memperparah dampak pemanasan global.
Selain di kawasan hutan. Keberadaan industri ekstraktif juga terdapat di daerah pesisir. Pembangunan PLTU, contohnya. Ini mengancam keberadaan hutan mangrove sebagai green belt pelindung dari ancaman abrasi serta sebagai pelindung ekosistem laut.
''Pembangunan PLTU di Kota Bengkulu setidaknya merambah hutan Mangrove seluas 10 Hektare,'' sampai Puji.
WALHI Bengkulu menyebut kondisi di daerah ini kian memburuk akibat ketidakseriusan dalam penanganan perubahan iklim. Di mana dampak krisis iklim belum menjadi isu krusial untuk ditanggapi dengan respon cepat.
Untuk itu Pemerintah Daerah Provinsi Bengkulu harus bertindak cepat guna menurunkan emisi gas rumah kaca. Lalu melanjutkan dan memperkuat Impres moratorium penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru hutan alam.
Kemudian melindungi wilayah kelolah rakyat secara adil dan lestari dengan kearifan lokal sebagai bagian dari adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Terakhir penetapan kebijakan rencana aksi daerah dalam penurunan emisi gas rumah kaca (RAD-GRK) dan pembangunan rendah karbon.
''Pembangunan rendah karbon harus dimasukan dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) secara khusus bagi daerah. Perumusan Kebijakan RPJMD harus memberikan ruang partisipasi bermakna terhadap terhadap masyarakat,'' tutup Puji.
(Khafid Mardiyansyah)