Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Tok! MK Tolak 5 Gugatan soal Perppu Ciptaker

Irfan Maulana , Jurnalis-Senin, 02 Oktober 2023 |19:40 WIB
Tok! MK Tolak 5 Gugatan soal Perppu Ciptaker
Mahkamah Agung (Foto: Dok Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua permohonan uji materiil dan formil terkait Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Perppu Ciptaker). MK menilai permohonan yang diajukan tersebut tidak beralasan menurut hukum.

Putusan itu dibacakan ketua MK Anwar Usman di ruang sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2023).

"Amar putusan. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pokok permohonan pemohon tak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya (konklusi)," kata Anwar.

Diketahui, 4 permohonan uji formil soal Perppu Ciptaker yakni Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023. Kedua, Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023. Ketiga, Perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023. Keempat, Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023. Kemudian, 1 permohonan uji materiil dan formil Perppu Ciptaker.

Permohonan perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 diajukan oleh 121 Pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja. Para Pemohon dari serikat pekerja, di antaranya, Federasi Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP KEP SPSI); Persatuan Pegawai Indonesia Power (PP IP); Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI), dkk.

Menurut para pemohon, UU Cipta Kerja cacat secara formil. Selain itu, berlakunya Pasal 81 UU Cipta Kerja menjadi penyebab terjadinya kerugian yang dapat berakibat hilangnya pekerjaan. Secara substansi UU Cipta Kerja telah banyak merugikan pekerja dengan penerapan regulasi Cipta Kerja yang mempermudah mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Secara umum, perubahan di bidang ketenagakerjaan sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal UU Cipta Kerja telah mendegradasi perlindungan yang seharusnya diberikan negara kepada pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Selanjutnya, Permohonan Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Menurut KSBSI, pokok-pokok permohonan pengujian formil UU Cipta Kerja yang berasal dari Perppu 2/2022 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 berdasarkan delapan alasan.

Di antaranya, persetujuan DPR atas Perppu 2/2022 menjadi undang-undang cacat formil atau cacat konstitusi; Sidang DPR mengambil keputusan atas persetujuan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang tidak memenuhi kuota forum (kuorum); bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020; tidak memenuhi syarat ihwal kegentingan memaksa; tidak jelas pihak yang memprakarsai Perppu 2/2022; tidak memenuhi asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; tidak memenuhi asas kejelasan rumusan; dan tidak memenuhi asas keterbukaan. Untuk itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan UU Cipta Kerja cacat hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.

Permohonan Nomor 46/PUU-XXI/2023 diajukan oleh oleh 14 badan hukum yakni Serikat Petani Indonesia (SPI), Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Perkumpulan Pemantau Sawit/Perkumpulan Sawit Watch, Indonesia Human Right Comitte For Social Justice (IHCS), Indonesia For Global Justice (Indonesia untuk Keadilan Global), Yayasan Daun Bendera Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), FIAN Indonesia, Perkumpulan Lembaga Kajian dan Pendidikan Hak Ekonomi Sosial Budaya, dan Konfederasi Kongres Serikat Buruh Indonesia.

Para Pemohon mendalilkan Presiden menetapkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 saat DPR dalam masa reses masa persidangan untuk tahun sidang 2022/2023 yang dilaksanakan mulai 16 Desember 2022 hingga 9 Januari 2023. Lalu, DPR kembali menggelar masa persidangan yang dimulai sejak 10 Januari hingga 16 Februari 2023.

Menurut para Pemohon, seharusnya, Perppu Cipta Kerja tersebut selambat-lambatnya harus disahkan dalam rapat paripurna pada 16 Februari 2023. Namun faktanya, Perppu tersebut baru mendapat persetujuan dan disahkan menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023 dalam masa sidang 14 Maret sampai 13 April 2023.

Hal ini membuktikan Perppu Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang pertama yaitu selambat-lambatnya 16 Februari 2023.

Sedangkan permohonan Nomor 50/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Buruh mendalilkan penetapan UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Menurut Partai Buruh, tindakan Presiden dan DPR yang mengabaikan putusan MK jelas dan secara nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum (konstitusi) termasuk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Kemudian, perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 itu digugat 43 oleh dari berbagai elemen. Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023) tersebut, Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses.

Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 Ayat (1) UU P3.

Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan.

Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.

Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati.

Maka lebih berbahaya lagi, tidak melaksanakan putusan MK berarti melanggar konstitusi adalah constitutional organ yang eksistensi dan fungsinya diatur dalam UUD 1945.

Pelanggaran konstitusi adalah salah satu definisi “pengkhianatan terhadap negara” yang membuka pintu bagi proses pemakzulan presiden (impeachment). Sehingga Para Pemohon meminta MK mengabulkan permohonan tersebut.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement