JAKARTA - Kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022, turut menyebabkan kerugian lingkungan hingga Rp271.069.688.018.700 atau Rp271 triliun.
Hal tersebut diungkap Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo saat memaparkan kerugian kerusakan hutan di Bangka Belitung (Babel), akibat kasus korupsi tersebut.
Jumlah itu, kata Bambang, merupakan perhitungan kerugian kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan nonkawasan hutan.
"Di kawasan hutan sendiri kerugian lingkungan ekologisnya itu Rp157,83 T, ekonomi lingkungannya Rp60,276 T, pemulihannnya itu Rp5,257 T. Totalnya saja untuk yang dikawasan hutan itu adalah Rp223.366.246.027.050," katanya saat konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, dikutip Selasa (20/2/2024).
"Dan kemudian yang nonkawasan hutan biaya kerugian ekologisnya 25,87 Triliun dan kerugian ekonomi lingkungannya 15,2 T dan biaya pemulihan lingkungan itu adalah 6,629 T. Jadi total untuk untuk yang (nonkawasan hutan APL) adalah 47,703 Triliun," sambungnya.
Di sisi lain, Bambang menjelaskan, total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Padahal, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektar.
"Dan dari luasan yang 170 ribu (hektar) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,661 hektar, dan yang non IUP itu 81.462,602 hektar," ucapnya.
Perhitungan itu, kata Bambang, merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
"Kami menghitung berdasarkan permen LH Nomor 7 Tahun 2014," katanya.