MPU Prapanca dan Mpu Tantular menjadi dua pujangga atau sastrawan yang tersohor di masa Kerajaan Majapahit. Wajar memang karena kedua menggubah dua kitab yang menjadi referensi sejarah hingga kini, yakni Negarakretagama dan Sutasoma. Namun ada tiga kitab kesusasteraan yang dikarang oleh dua pujangga yang tak begitu familiar.
Keduanya adalah Mpu Tanakung dan Mpu Dusun. Mpu Tanakung menulis kitab Kakawin Lubadhaka, sekitar pertengahan abad 15 di bawah masa Sri Adisuraprabhawa atau raja Majapahit Dyah Suraprabhawa yang memimpin pada 1466 - 1474 Masehi.
Dikutip dari Perang Bubat 1279 Saka, Membongkar Fakta Kerajaan Sunda vs Kerajaan Majapahit," dari Sri Wintala Achmad. Keunikan kakawin ini terletak pada tokohnya yang merupakan seorang pemburu. Kakawin ini mengisahkan tentang sorang pemburu yang mencapai surga karena menghormati lingga pada malam Siwa.
BACA JUGA:
Kitab berikutnya yang ditulis Mpu Tanakung adalah Wrttansancana. Kakawin ini ditulis untuk memberikan kaidah - kaidah metrum. Perihal pesan moral yang tersirat dari kisah perpisahan dan pertemuan seorang putri dengan kekasihnya, melalui sepasang itik dalam karya tersebut. Tanakung mengisahkan bagaimana perpisahan dan pertemuan manusia juga dialami oleh Mpu Tanakung.
Mpu Tanakung mengisahkan tak ada keabadian di dunia melalui Kakawin Wrttansancana. Setiap pertemuan merupakan ambang perpisahan, dan perpisahan merupakan ambang pertemuan. Karenanya dalam kitab kakawin ini dikisahkan bagaimana larangan bersedih sewaktu berpisah.
Tanakung juga mengkritisi adanya pendapat bahwa seluruh manusia adalah umat Tuhan yang mulia. Menurut Tanakung, tingkatan nilai manusia ditentukan oleh budi pekertinya, banyak manusia kaya raya yang tidak memiliki nilai tinggi di hadapan Tuhan, karena hidup sebagai penjahat. Namun sebaliknya banyak manusia miskin atau papa, sebagaimana dilukiskan sebagai binatang itik yang bernilai tinggi, karena suka menolong pada seluruh makhluk Tuhan.